KOMPAS.com - Guru Besar Bimbingan dan Konseling ( BK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Agus Taufiq menyampaikan dua rekomendasi dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan secara umum dan layanan BK secara khusus.
Hal ini, kata dia, ditujukan agar para siswa di sekolah mencapai keberhasilan.
“Pertama diperlukan konsistensi antara regulasi dan kebijakan tentang BK di sekolah dengan aturan implementasinya. Baik di tingkat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) maupun provinsi dan kabupaten atau kota," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (9/6/2021).
Rekomendasi kedua, lanjut dia, meningkatkan kompetensi supervisi klinis bagi para dosen pendidik konselor di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), konselor pamong di sekolah mitra, dan para pengawas atau supervisor guru BK hingga konselor di lapangan.
Baca juga: Wapres Minta LPTK Pertimbangkan Kondisi Nyata Pendidikan di Indonesia dalam Mempersiapkan Guru
Agus menjelaskan, bimbingan dan konseling adalah bagian integral dari teori dan praktik pendidikan.
Dalam konteks pendidikan, kata dia, BK di sekolah berada dalam wilayah ilmu normatif, yaitu berfokus pada kajian utama bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia berkembang dari kondisi apa adanya kepada bagaimana seharusnya.
“BK juga merupakan layanan psikopedagogis, baik dalam setting di persekolahan maupun luar sekolah sesuai konteks kultur, nilai, dan religi yang diyakini klien serta konselor,” ujar Agus.
Karena sifat normatif pedagogis ini, sambung dia, maka fokus orientasi bimbingan dan konseling adalah pengembangan perilaku.
Baca juga: Memperkuat Dimensi Pedagogis dalam Pembelajaran Daring
Menurut Agus, pengembangan perilaku seharusnya dikuasai oleh individu untuk jangka panjang. Sebab, hal ini menyangkut ragam proses perilaku pendidikan, karir, pribadi, keluarga, dan proses pengambilan keputusan.
“Karena posisi keilmuan dan filosofi itulah, konselor diposisikan sebagai salah satu komponen pendidik,” imbuhnya.
Pernyataan itu sesuai dalam pasal 1 ayat (6) Undang-undang (UU) Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Kendati demikian, sebutan konselor atau guru BK sudah disesuaikan dengan sistem yang ada. Pasalnya, nomenklatur konselor tidak ada dalam sistem aturan kepegawaian.
Baca juga: Ribuan Murid Drop Out sejak 2019, Pemprov Babel Evaluasi Peran Guru BK
“Perlu digaris bawahi, walaupun masih diberi label guru, namun tugas konselor bukan mengajar BK seperti halnya guru Matematika atau guru Sejarah,” ujar Agus.
Hal ini karena, bimbingan dan konseling bukan sebuah mata pelajaran, melainkan suatu layanan pemberian bantuan psikopedagogis kepada semua peserta didik.
Adapun tujuan BK untuk mencapai perkembangan optimal dalam aspek-aspek belajar, karir, sosial dan pribadi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
“Dengan landasan legal itu, sudah tegas bahwa konselor adalah pendidik. Begitu pula layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah bimbingan dan konseling. Kini saatnya untuk meletakan prinsip kebijaksanaan itu secara benar,” tegas Agus
Baca juga: Kementerian PPPA Sebut Masih Banyak Orangtua Butuh Bantuan Psikolog dan Konselor
Dalam kesempatan tersebut, Agus menjelaskan, bimbingan dan konseling di sekolah memiliki empat ciri utama sebagaimana kelaziman profesi secara universal.
“Pertama, adanya bidang layanan keahlian yang unik dan diakui oleh masyarakat serta pemerintah,” ujarnya.
Kedua, lanjut Agus, adanya standar pendidikan yang secara sistematis disiapkan untuk menguasai bidang keilmuan (the Scientific Basis of the Arts) sebagai praktik profesi unik tersebut.
Ciri ketiga, adanya latihan praktik profesional yang sistematis dan tersupervisi secara efektif. Tujuannya, untuk menjamin penguasaan dan pemeliharaan kompetensi dan integritas pribadi sehingga menjadi praktisi yang aman.
Baca juga: Risma Minta SDM di 4 Layanan Kemensos Ini Miliki Integritas dan Moral
Sementara terakhir, ciri keempat adalah imbalan yang layak dan diikuti dengan tanggung jawab guna meningkatkan profesionalitas secara berkelanjutan.
Agus memaparkan, berlandaskan pada pasal 1 ayat (6) UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia (RI) telah melahirkan dua regulasi penting.
Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 27 Tahun 2008 tentang kualifikasi pendidikan dan kompetensi konselor di Indonesia.
“Peraturan ini dibuat sebagai landasan legal tentang standar kompetensi dan pendidikan akademik dan pendidikan profesi konselor di Indonesia,” imbuh Agus.
Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenal Perbedaan Pendidikan Akademik, Vokasi dan Profesi
Kedua, sambung dia, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan menengah.
Peraturan tersebut, harus dilengkapi dengan pedoman operasional bimbingan dan konseling. Utamanya saat memasuki sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK).
“Jika diimplementasikan secara konsisten dan berkeadilan, regulasi ini dapat diandalkan menjadi payung hukum bagi kebijakan dan praktik bimbingan dan konseling di sekolah,” ucap Agus.
Meskipun demikian, imbuh dia, regulasi itu belum secara komprehensif melandasi penyelenggaraan pendidikan dan layanan profesional bimbingan dan konseling.
Baca juga: Menguatkan Peran Bimbingan Konseling Saat Belajar dari Rumah
Dalam implementasi, Agus mengatakan, kebijakan dan praktik bimbingan dan konseling di sekolah dari periode ke periode pergantian aparat terkait selalu mengalami pasang surut.
“Penyebabnya, karena pemahaman yang tidak tepat, kebijakan dan pengaturan yang tidak konsisten. Bahkan, tidak berkeadilan baik di tingkat kementerian maupun pemerintah daerah (pemda),” ujarnya.
Agus mencontohkan, inkonsistensi dan kontradiksi kebijakan Direktur Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) tentang rekrutmen dan pengangkatan guru BK atau konselor dari lulusan prodi non-BK. Bahkan, lulusan prodi juga sangat tidak relevan.
Situasi ini, kata dia, menghadapkan para konselor dan pendidik konselor pada situasi konflik vertikal serta kemunduran.
Baca juga: Korban Penculikan dan Pencabulan di Cianjur Jalani Bimbingan Konseling Psikologi
Lebih lanjut Agus mengatakan, inkonsistensi lainnya di sejumlah daerah konselor diberi jam masuk kelas 1 hingga 2 jam pelajaran, sementara di daerah lain tidak.
“Untuk daerah tertentu, rekrutmen konselor dengan tegas mensyaratkan kepemilikan ijazah kesarjanaan pendidikan bidang bimbingan dan konseling, sedangkan di daerah lain tidak, ucapnya.
Sementara itu, Dinas Pendidikan provinsi di daerah tertentu mengangkat pengawas atau supervisor BK, sedangkan di daerah lainnya tidak.
Baca juga: Dinas Pendidikan Bogor Nyatakan Kesiapan PTM dari Prokes hingga Kurikulum
Berdasarkan hasil penelitiannya (2020), ia menunjukkan bahwa penyelenggaraan layanan BK masih belum sesuai aturan yang ditetapkan.
Selain itu, supervisi kinerja konselor di sekolah dilakukan oleh orang yang tidak kompeten. Akibatnya, supervisi salah kaprah karena hanya berorientasi pada bukti administratif yang terbatas.
“Kemudian, tidak ada dialog serta pemberian umpan balik yang substansial. Hal ini membuat supervisi terhadap konselor tidak memberi efek yang semestinya. Bahkan, cenderung merendahkan profesi BK,” ucap Agus.
Baca juga: PGRI Harap Kemendikbud Kembalikan Tunjangan Profesi Guru SPK
Menurut Agus, inkonsistensi antara kebijakan dan implementasi di sekolah sangat tidak berkeadilan dan cenderung merendahkan profesi konselor.
Kenyataan ini, sebut dia, diperparah oleh ketidakefektifan supervisi klinis. Baik dalam proses penyiapan calon konselor maupun ketidakefektifan supervisi konselor yang sudah bekerja di lapangan. Keduanya sama-sama membahayakan.
“Ketidakefektifan supervisi calon akan berdampak tidak menguntungkan terhadap mutu lulusan prodi strata satu (S1) BK,” ujar Agus.
Begitu pula, ketidakefektifan supervisi konselor yang sudah bekerja akan memberi dampak buruk terhadap mutu layanan BK. Seharusnya, mutu layanan ini dapat diterima oleh para siswa dan stakeholders lainnya.
Baca juga: LAN Buka Kesempatan Stakeholders untuk Sampaikan Masukan dan Saran
Menurut Agus, supervisi pertama tergantung pada kerja sama antara dosen pendidik dan konselor pamong di sekolah mitra.
“Sementara itu, supervisi kedua (supervisi kinerja konselor) seharusnya merupakan kewenangan Dinas Pendidikan daerah dan provinsi,” imbuhnya.
Agus menyebutkan, ada fakta empirik yang sangat mengkhawatirkan tentang ketidakefektifan supervisi klinis dalam proses pendidikan dan supervisi konselor yang sudah bekerja di lapangan.
Fakta itu di antaranya, menargetkan tugas pada orang yang tidak kompeten, sehingga supervisi klinis bukan hanya menjadi salah kaprah dan sangat tidak efektif.
Baca juga: Siswi SMA Hina Palestina di TikTok, Gubernur Bengkulu Soroti Peran Guru
Namun, akan merusak citra konselor yang ada dan cenderung merendahkan marwah profesi bimbingan dan konseling.
Agus menjelaskan, berdasarkan hasil penelitiannya (2009-2017), supervisi klinis yang tidak efektif akan menimbulkan dampak negatif terhadap konselor.
“Adapun dampaknya, pertama konselor tidak yakin lagi tentang kebenaran prakteknya sendiri, karena menjadi suatu rutinitas sehingga rentan dengan pengulangan kesalahan tertentu,” ucapnya.
Kedua, mengalami kejenuhan profesional (burnout), dan yang parah adalah yang ketiga; lambat tapi pasti akan kehilangan identitas profesionalnya.
Baca juga: Jangan Sepelekan, Kenali Burnout karena Pekerjaan dan Pencegahannya
Agus mengatakan, menurut para pakar supervisi yang tidak efektif bukan hanya mengakibatkan keusangan, stagnasi, dan penurunan kompetensi konselor.
Akan tetapi, kata dia, juga berpotensi melanggar kode etik dan aturan hukum. Akibatnya, akan meningkatnya risiko berbahaya bagi siswa yang dilayani.