KOMPAS.com – Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia ( UPI) Dedi Sutedi mengatakan, Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak di dunia setelah China dalam pembelajaran Bahasa Jepang.
Capaian Indonesia itu tak lepas dukungan proses pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia bermula sejak 1962 di sejumlah sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Sumedang. Para murid SMA di Sumedang belajar Bahasa Jepang sebagai mata pelajaran pilihan.
“Pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia sudah ada sebanyak 90 persen di tingkat sekolah menengah pertama (SMP), SMA, dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang masih tingkat pemula. Kemudian 4 persen berada di tingkat dasar pada kursus-kursus Bahasa Jepang dan 6 persen adalah mereka yang belajar di perguruan tinggi (PT),” jelas Dedi dalam keterangan pers yang diterima oleh Kompas.com, Jumat (27/5/2022).
Hal tersebut dikatakan Dedi Sutedi saat menyampaikan pidato pemikirannya tentang Peranan Linguistik dalam Pendidikan Bahasa Jepang di Kampus UPI, Rabu (18/5/2022).
Pidato itu disampaikan Dedi saat agenda pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar UPI dalam Bidang Ilmu Linguistik Bahasa Jepang pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) UPI. Pengukuhan dilakukan langsung oleh Rektor UPI.
Dalam pengukuhan tersebut, Dedi Sutedi menyampaikan beberapa pemikiran permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam proses pembelajaran Bahasa Jepang.
Dedi mengungkapkan, panjangnya sejarah dan banyaknya jumlah siswa yang belajar Bahasa Jepang di Indonesia masih belum menuntaskan masalah yang terjadi secara turun-temurun.
Adapun tiga masalah yang selalu muncul adalah menyangkut proses belajar huruf, gramatika, dan praktik dalam berkomunikasi.
“Selama ini belum ditemukan metode mengajar atau strategi belajar huruf kanji yang jumlahnya hingga 2.000 itu yang cocok buat pembelajaran orang Indonesia,” ungkap Dedi.
Baca juga: Kisah Diana Kartika, Guru Besar Bahasa Jepang Pertama Se-Sumatera yang Jadi Pengusaha Sukses
Menurut Dedi, masalah pemahaman itu terjadi karena penjelasan yang tidak lengkap, tidak ada referensi yang mudah untuk dibaca, dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman tata bahasa.
“Sulitnya berkomunikasi disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap budaya dan kebiasaan bangsa Jepang yang berbeda dengan budaya di Indonesia,” ujar Dedi.
Oleh karena itu, Dedi berinisiatif untuk memecahkan masalah yang kerap terjadi dalam proses pembelajaran Bahasa Jepang tersebut. Pertama dengan cara memberikan trik agar siswa dapat dengan mudah mengingat huruf kanji yang banyak dan sulit untuk diingat.
“Cara konsep analogi, asosiasi, teori Gestalt, dan sebagainya, dapat meningkatkan daya ingat, sehingga dapat ditemukan cara mudah untuk mengingat huruf kanji,” jelas Dedi.
Kedua, kata dia, dalam memahami unsur gramatikal dapat ditopang melalui teori linguistik atau bahasa. Adapun cara yang dinilai ampuh untuk siswa mudah memahami gramatikal, yakni melalui kajian sintaksis, semantik, linguistik kontrastif, serta linguistik kognitif.
“Penenerapan konsep metafora, metonimi, dan sinekdok dalam linguistik kognitif dinilai ampuh dalam memberikan kata yang berpolisemi dan idiom dalam Bahasa Jepang,” kata Dedi.
Ketiga, penggunaan Bahasa Jepang dalam berkomunikasi secara nyata dapat diatasi dengan pemahaman budaya dan kebiasaan orang Jepang sambil belajar Bahasa Jepang.
“Yang terakhir, harus dibiasakan untuk berkomunikasi Bahasa Jepang dengan menggunakan budaya dan kebiasaan orang Jepang, bukan dengan cara berpikir dalam Bahasa Indonesia,” kata Dedi.
Dengan beberapa solusi itu, Dedi berharap dapat semakin memajukan bidang linguistik dalam pendidikan Bahasa Jepang.
“Untuk itu kita harus mau membaca dan mengkaji hasil penelitian linguistik Bahasa Jepang agar dapat diterapkan dalam pendidikan Bahasa Jepang,” kata Dedi.