KOMPAS.com – Guru Besar Ilmu Kebijakan dan Pengembangan Olahraga Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. H. Amung Ma’Mun, M.Pd menyoroti peran penting sebuah kebijakan dalam praktik pembangunan olahraga di negara-negara di dunia.
“Sebuah kebijakan berdampak pembangunan olahraga bersinggungan secara pasti dengan perolehan kemajuan masyarakat suatu bangsa,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (8/6/2021).
Hal itu seperti penjelasan Ma’mun pada 2019. Saat itu ia mengatakan bahwa kebijakan berawal dari sebuah proses politik dalam rekruitmen kepemimpinan.
Kepemimpinan yang legitimate kemudian berimplikasi pada kekuasaan. Sedangkan praktik kekuasaan dijalankan melalui kebijakan, yang melahirkan konsekuensi anggaran.
Kebijakan dalam pembangunan olahraga nasional dibentuk berdasarkan perspektif historis, tren global, dan tantangan pada masa depan yang menjadi isu utama.
Dalam perspektif historis, pembangunan olahraga senantiasa seiring sejalan dengan praktik kepemimpinan nasional.
Di Indonesia, praktik kepemimpinan nasional sampai saat ini mengenal tiga era, yaitu: era Presiden Soekarno (1945-1966/67), era Presiden Soeharto (1966/1967-1998), dan era Reformasi (1998-sekarang).
Era Reformasi sudah dipimpin lima presiden, yaitu BJ Habibie (1998-1999), Abdurachman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudoyono/SBY (2004-2014), dan Jokowi (2004-2024).
Baca juga: Guru Besar UPI: Perguruan Tinggi Harus Berani Ubah Pendidikan Kewirausahaan Jadi Digitalpreneur
Pada era Presiden Soekarno, kebijakan dalam pembangunan olahraga nasional seiring dengan visi nation and character building.
Visi tersebut menjadi sumber pemicu dalam menghidupkan semangat kebangsaan sebagai bagian dari eksistensinya untuk menunjukkan identitas diri bangsa Indonesia merdeka (17 Agustus 1945).
Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada 1948 menjadi tonggak sejarah yang amat penting, karena dijadikan sebagai jawaban atas ditolaknya Indonesia untuk ikut serta dalam Olimpiade ke-XIV/1948 di London.
Pada saat itu, Indonesia ditolak berdasarkan tiga alasan, yaitu Indonesia belum diakui dunia secara penuh sebagai negara merdeka, Indonesia belum menjadi anggota resmi Komite Olimpiade Internasional, dan Indonesia belum kelasnya tampil di Olimpiade.
Kemudian, Indonesia ditawari ikut Olimpiade 1948 dengan satu syarat, yaitu harus berbendera Hindia Belanda. Akan tetapi, Indonesia secara tegas menolak karena sangat berisiko dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, isu kebijakan dalam pembangunan olahraga pada era kepemimpinan Presiden Soekarno kental dengan nuansa politik, yaitu demi eksistensi dan identitas diri negara bangsa Indonesia.
Baca juga: Soal Peta Jalan Pendidikan Indonesia, Rektor UPI: Sangat Urgen, tapi Harus Komprehensif
Sejak kepemimpinan nasional beralih kepada Presiden Soeharto (1966/1967-1998), kebijakan dalam pembangunan olahraga mulai bergeser orientasi sebagaimana fungsinya.
Konsep kebijakan dalam pembangunan olahraga pada era ini menempatkan ASEAN sebagai medium panggung politik, baik dari sisi tujuan untuk membangun persahabatan yang lebih intensif dan bermakna di antara negara-negara ASEAN, maupun persaingan prestasi olahraganya itu sendiri.
Penjabaran kebijakan dalam pembangunan olahraga berbasis masyarakat terus digelorakan dengan sasaran untuk meningkatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam kegiatan olahraga agar betul-betul menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.
Strategi ini diilhami visi yang menempatkan dunia olahraga (aktivitas fisik dan rekreasi) sebagai medium pembangunan masyarakat, yaitu membangun kualitas manusia Indonesia seutuhnya (pengetahuan, fisik, mental dan sosial menjadi sasaran dalam satu kesatuan yang terintegrasi).
Hal ini pun sejurus dengan deklarasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) 1978 yang menempatkan pendidikan jasmani dan olahraga dalam perspektif global sebagai hak azasi manusia.
“Dalam hal ini, UNESCO telah melakukan serangkaian kegiatan penting untuk mendukung perluasan pendidikan jasmani dan olahraga berkembang di negara-negara di seluruh dunia,” jelas Ma’mun.
Baca juga: Atasi Jenuh Kuliah Daring, UPI Inovasi Tatap Muka Moda Broadcasting
Dukungan ini dimulai dengan fokus pada program sekolah dan luar sekolah dalam konteks pendidikan seumur hidup bagi orang-orang dari segala usia (McNeely, 1980).
Sedangkan pada era reformasi (1998-sekarang), sistem perencanaan pembangunan olahraga mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor (No) 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Substansi yang menjadi isu pembangunan olahraga tertuang dalam UU No. 3/2005 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN).
Rumusan awal UU No. 3/2005 tentang SKN merupakan buah karya Direktorat Jenderal Olahraga ketika bidang pemuda dan olahraga menjadi bagian dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), kemudian berhasil ditetapkan menjadi Undang-undang pada era Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Kabinet SBY-JK.
Seiring dengan kepemimpinan nasional pada era reformasi, praktik pembangunan olahraga di negara-negara di dunia bersinggungan dengan dokumen pembangunan yang tertuang dalam Millenium Development Goals/MDG’s (2000-2015) dan berlanjut dalam Sustainable Development Goals/SDG’s dengan isu Sport for Development and Peace/SDP (2015-2030).
Dalam UU No. 3/2005 tentang SKN itu sendiri dijelaskan ruang lingkup olahraga terdiri atas, olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi.
Baca juga: Sejarah Olahraga Atletik
“Ketiga ruang lingkup olahraga tersebut menjadi sumber pengarah dalam merumuskan kebijakan dalam pembangunan olahraga untuk menjawab tantangan pada masa depan berdasarkan tren global,” lanjut pria bergelar professor tersebut.
Ma’mun menambahkan, tren global dalam pendidikan jasmani dan olahraga kini mewujud menjadi medium pendidikan melalui aktivitas jasmani dan gerak terkoordinasi yang terbimbing.
Pendidikan ini bukan hanya bermakna dalam perolehan keterampilan jasmani (physical skill), keterampilan berolahraga (sport skill), kebugaran jasmani (physical fitness).
Akan tetapi, pendidikan ini juga sudah masuk dalam rangka pengembangan anak muda yang positif (Positive Youth Development/PYD).
Hal ini seperti diyakini bahwa melalui olahraga, anak-anak dan remaja belajar nilai-nilai dan keterampilan yang akan melayani mereka dengan baik ketika mempersiapkan diri untuk sisa hidup ke depannya (Danish et al., 2004).
Ini juga sesuai pendapat Fraser-Thomas (et al, 2007) serta Bean dan Forneris (2016) bahwa potensi program olahraga remaja untuk mendorong perkembangan positif seiring dengan upaya mengurangi risiko perilaku bermasalah.
Oleh karena itu, program olahraga untuk PYD memerlukan perencanaan dan pengintegrasian dalam proses latihan yang terstruktur dan disengaja dengan baik.
Maksud terstruktur dan disengaja (intentionally structuring) itu adalah apa yang menjadi sasaran dalam kegiatan olahraga harus dipahami, disimulasikan, dan didiskusikan selama kegiatan pembelajaran dan/atau pelatihan olahraga tersebut berlangsung.
Baca juga: Dies Natalis UPI ke-66 : UPI Lebih Berprestasi dan Berinovasi di Masa Pandemi
Sebagai contoh, kegiatan olahraga yang dirancang secara terstruktur dan disengaja, bermuatan integrasi life skills, maka semua komponen life skills tersebut harus disampaikan, disimulasikan dalam praktik, dan didiskusikan pada bagian akhir.
Selain itu, pendidikan olahraga (sport education) yang terkait dengan pendidikan jasmani untuk kaum millenial baru menggariskan berbagai sasaran, yaitu pengembangan keterampilan motorik (motor skill development), performa dan pengetahuan taktikal (tactical knowledge and performance), dan kebugaran (fitness).
Lalu, ada pula pengembangan pribadi/sosial (personal/social development) seperti cooperation, empathy, self-discipline.
Kemudian sikap siswa (student attitude) seperti enthusiasm dan enjoyment, serta nilai (values) seperti affinity, equity, culture (Wallhead & O’sullivan, 2005).
Mengutip Beutler (2008), Ma’mun menjelaskan, olahraga dan aktivitas jasmani memiliki empat manfaat dari 17 yang tercatat.
Pertama, memiliki dampak positif pada kesehatan masyarakat dan pencegahan penyakit.
Kedua, mengembangkan masyarakat yang lebih kohesif dan berkelanjutan. Ketiga, menanggulangi perilaku anti-sosial dan takut akan kejahatan.
Kemudian keempat, memastikan kaum muda mendapatkan awal terbaik dalam hidup.
“Dalam konsep pelayanan publik, kehadiran negara/pemerintah sangat penting untuk memberikan peluang kepada setiap orang secara inklusif agar mendapatkan akses dalam berbagai kegiatan yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat termasuk dalam bidang olahraga,” terangnya.
Baca juga: Manfaat Olahraga di Malam Hari Lebih Maksimal untuk Tubuh
Menurutnya, olahraga layak dinyatakan sebagai wilayah kebijakan publik karena bersentuhan dengan upaya membangun kualitas hidup masyarakat.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah kebijakan dalam pembangunan olahraga nasional harus dirumuskan dan direncanakan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan publik seiring dengan demokrasi sistem politik yang dianutnya.
Untuk hal tersebut, dia menyadari diperlukannya perubahan cara pandang dalam memaknai hakikat olahraga sebagaimana potensi yang terkandung di dalamnya, yaitu menjadi instrumen pembangunan.
Ma’mun mencontohkan, olahraga di Jepang dijadikan sebagai sumber pendorong untuk mempercepat pembangunan sektor-sektor lainnya (Yamamoto, 2012).
Kemudian, diperlukan pula pergeseran paradigma yang dilakukan dari development of sport ke development through sport. Hal ini terjadi di Korea Selatan (Korsel) karena pemerintah setempat ingin menjadikan negaranya benar-benar maju (Ha et al., 2015).
Lebih lanjut, Ma’mun juga menjelaskan kebijakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan (Physical Education and School Sport/PESS) yang ideal.
Menurutnya, ada empat muara dalam wacana ini, pertama, pendidikan jasmani sebagaimana rancangan kurikulum yang berorientasi pada pengembangan kebiasaan beraktivitas jasmani sepanjang hayat.
Baca juga: Wisudawan UPI Gelombang III 2020 Diminta Berkontribusi pada Pendidikan Bangsa
Kedua, aktivitas jasmani di lingkungan sekolah di luar jam pelajaran sekolah yang dikenal sebagai out of school hours activity (OSHA) sebagai pembentukkan partisipasi sepanjang hayat (life long participation).
Ketiga, olahraga sebagai ekstrakurikuler dalam rangka upaya pengembangan bakat bagi anak-anak yang memiliki minat.
Keempat, unit kegiatan olahraga sekolah yang memiliki hubungan dengan klub olahraga di masyarakat sebagai club link yang penyelenggaraan kompetisinya diatur secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan sepanjang tahun dalam rangka pengembangan olahraga dalam arti luas.
Integralisasi sistem kompetisi dari awal, junior, senior dan elit atlet harus berlangsung secara simultan berbasis masyarakat dan perkumpulan olahraga sekolah yang memerlukan kehadiran pemerintah dalam mengatur jalannya kompetisi sebagaimana seharusnya (J. P. Gulbin et al., 2013).
“Kebijakan pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dan/atau masyarakat (Community Sport Development/CSD) semestinya berbasis masyarakat sebagai pengisi waktu luang, yaitu pengembangan sanggar-sanggar, klub olahraga di masyarakat, dan festival tahunan,” sebutnya.
Baca juga: Sumbang Pemikiran untuk Pembangunan Pendidikan Indonesia, UPI Kukuhkan 8 Guru Besar
Ma’mun mencontohkan, sanggar-sanggar bisa dikembangkan dalam struktur pemerintahan terbawah (kelurahan atau desa).
Program tersebut, seperti berolahraga setiap jum’at selama 30 menit dan/atau menjadi 45 menit, seperti program jam krida pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, yakni program Jumsihat (Jum’at bersih dan sehat).
Program semacam itu pernah dipraktikkan dalam program olahraga untuk masyarakat di Jawa Barat (Jabar) dihidupkan kembali.
Program ini, selanjutnya dilengkapi dengan kegiatan di hari minggu (minggu bergerak), sama selama 30-45 menit berolahraga (dalam arti kata menjadi dua kali per minggu), lebih jauh dimungkinkan program Beladiri Budaya Masyarakat(BBM) dianjurkan khusus untuk pencaksilat.
Sangat baik manakala masyarakat didorong untuk berhimpun membentuk klub olahraga, walau lebih tepat dasarnya sukarela, pada setiap struktur pemerintahan tingkat Kecamatan dan/atau kelurahan/desa.
Tenaga penggeraknya dapat dimanfaatkan program Sarjana Pendamping Penggerak Pembangunan Olahraga (SP3Or) yang telah dikembangkan Dinas Olahraga dan Pemuda Jawa Barat (Disorda) Jabar (Ma’mun, 2016).
Baca juga: Dukung Kebijakan Pelayanan Publik Pemerintah, UPI Diapresiasi Kemendikbud
Sementara itu, tanggung jawab pendanaannya berada pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang turut serta menggali potensi sumber dana dari masyarakat itu sendiri.
Terkait kebijakan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, tujuan dan sasarannya berpijak pada perluasan klub berbagai cabang olahraga di lingkungan masyarakat yang dikelola secara swadaya, semi profesional dan professional.
Pengembangan pusat pembinaan dan pelatihan olahraga ini digelar di berbagai daerah, serta menyelenggarakan kompetisi antar klub secara terstruktur, sistematis dan berkesinambungan sesuai dengan karakteristik cabang olahraganya.
“Arah pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi bertumpu pada penataan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga yang terstandardisasi kelas dunia,” jelas Ma’mun.
Menurutnya, kompetisi sepanjang tahun dan/atau kejuaraan temporer betul-betul memerlukan penataan secara sistemik yang lebih memberikan peluang pada setiap cabang dan/atau jenis olahraga.
Hal ini dapat diketahui seperti model individual league system di Jerman yang berhasil bersinggungan dengan industri olahraga dan bernilai ekonomi sekaligus berkontribusi pada peningkatan high performance athlete Jerman secara umum (Zimmermann & Klein, 2018).
Baca juga: Friedrich Ludwig Jahn, Bapak Olahraga Senam Dunia
Selain itu, lanjut Ma’mun, ada pula olahraga prestasi atau elite yang sebaiknya dikembangkan berfondasi pada konsep Foundation Talent Elite Mastery (FTEM) yang telah dikembangkan di Australia.
Dia menjelaskan, konsep ini terdiri dari foundation, yakni diselenggarakan oleh institusi pendidikan dan masyarakat yang bersifat menyenangkan, tanpa paksaan, dan tanpa kompetisi.
Kemudian, talent, berarti tingkatan selanjutnya setelah foundation yang lebih menitikberatkan pada lanjutan pembinaan lebih terarah, baik sistem latihannya, kekhususan jenis olahraganya, maupun pengorganisasiannya.
Pada tingkat ini, konsep sudah mulai memikirkan model kerja sama dengan institusi pendidikan untuk meluaskan kegiatan olahraga disertai dengan kegiatan kompetisi tahap awal yang berjenjang.
Berikutnya, elite, yaitu tahapan pembinaan disamping proses latihan yang lebih terprogram, baik di perkumpulan maupun di pusat pembinaan disertai keikutsertaan dalam sistem kompetisi lokal dan nasional yang terjadwal, berjenjang dan berkelanjutan.
Sementara itu, mastery adalah kelompok atlet yang dibina dalam pemusatan latihan berkelanjutan sepanjang tahun dan/atau dibina dalam perkumpulan profesional untuk setiap saat siap sedia membela nama negara di kancah kompetisi internasional (Gulbin, J.P., Croser, M. J., Morley, E. J., & Weissensteiner, J. R., 2013).
Kaidah FTEM ini sesuai dengan model pengembangan atlet elit atau Athlete Development Triangle/ADT (Gulbin, Weissensteiner, J., Oldenziel, K., & Gagné, F., 2013).
Baca juga: Tim LENTERA Prodi Pendidikan Multimedia UPI Juarai LIDM 2020 Divisi 3
Untuk mengimplementasikan semua ini dibutuhkan perangkat kebijakan setingkat Peraturan Presiden dan/atau Keputusan Presiden secara khusus dalam ruang lingkup pembinaan dan pengembangan olahraga masing-masing.
Kebijakan itu dapat diatur melalui Peraturan Presiden dan/atau Keputusan Presiden tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Pendidikan, Peraturan Presiden dan/atau Keputusan Presiden tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Rekreasi, dan Peraturan Presiden dan/atau Keputusan Presiden tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Prestasi/Elite.