KOMPAS.com – Guru Besar Ilmu Linguistik Forensik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Drs. Aceng Ruhendi Syaifullah, M.Hum mengatakan, praktik analisis linguistik forensik pada dasarnya bertumpu pada empat teori.
Empat teori itu, yakni teori semiosis, Model Organon, teori wacana kritis, dan pendekatan analisis wacana yang dimediasi komputer.
Melalui beberapa teori tersebut, tanda dan makna wacana interaktif di internet yang terjadi pada konteks media dan situasi komunikasi yang spesifik, ditelusuri dan diperlihatkan sebagai indikator-indikator terjadinya proses demokratisasi.
“Arus informasi dan representasi simbolik tanda-tanda verbal yang mentransformasikan sinyal elektronik ke makna sosial cukup ampuh untuk dibentuk menjadi lanskap tentang relasi kuasa dalam bingkai pertarungan kekuasaan,” jelas Aceng dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (8/6/2021).
Baca juga: Peringatan Hari Bhayangkara: Selisik Linguistik Forensik
Dengan demikian, sambung dia, internet telah menjadi semacam “lokomotif” untuk proses demokratisasi di ruang digital.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perdebatan pro-kontra, optimisme-pesimisme, harapan utopis, kecemasan distopis yang dilontarkan para pengguna internet terkait kebijakan pemerintah.
“Namun persoalannya, dalam perspektif kajian dan praktik analisis linguistik forensik untuk kepentingan penelusuran penggunaan bahasa berdampak hukum, muncul pertanyaan krusial: sejauh mana fenomena demokratisasi itu dapat ditelusuri melalui indikator-indikator verbal dalam proses pemaknaan dan proses kewacanaan di internet,” paparnya.
Aceng menjelaskan, identifikasi fenomena demokratisasi tersebut di satu sisi dapat meredam atau menjinakkan berbagai tuntutan risiko hukum dan kecenderungan kriminalisasi oleh pihak berkuasa dalam praktik penggunaan bahasa.
Baca juga: UPI Buka Jalur Mandiri dan Prestasi Istimewa, Simak Informasinya
“Terutama dalam kaitannya dengan pengamalan prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin konstitusi,” sambungnya.
Sementara itu, di sisi lain, linguistik forensik juga diharapkan dapat merawat, mendewasakan, serta menumbuhkembangkan atmosfer demokratisasi secara lebih rasional, santun, dan bermartabat.
Dalam tatapan linguistik forensik, speech act untuk mengarahkan opini publik sudah dikenal sejak adanya propaganda war on terrorism (perang melawan terorisme). Isu ini pertama kali muncul setelah berakhirnya fenomena Perang Dingin pada akhir abad ke-20.
Propaganda tersebut mulai memuncak semenjak peristiwa terorisme 11 September 2001 di Gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon, Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Meningkat Pesat, Peserta UTBK SBMPTN 2021 di UPI Naik 94,39 Persen
Aceng menerangkan, melalui speech act itu, penguasa berusaha mengarahkan opini publik agar memandang suatu persoalan sebagai ancaman terhadap keamanan. Ini merupakan proses sekuritisasi oleh para aktor tertentu.
“Suatu isu menjadi isu keamanan bukan hanya karena ada ancaman eksistensial, tetapi juga karena ada acamana presented as a thread,” jelas dia.
Cara pandang terhadap keamanan semacam itu, kata Aceng, merupakan ciri khas dari tradisi konstruktivisme. Dalam tradisi ini, wacana tidak dipahami sebagai sesuatu yang given, melainkan terkonstruksi.
“Fenomena konstruktivisme ini ternyata berkelindan dengan muncul dan menyebarnya peristiwa post-truth global yang memuncak pada 2016,” kata dia.
Baca juga: Daftar Lengkap Daya Tampung 74 Prodi UPI Jalur SBMPTN 2021
Dua peristiwa yang menjadi momentum hebat post-truth adalah saat Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald J Trump sebagai Presiden AS.
“Kredo post-truth paling populer itu diungkapkan oleh Paul Joseph Goebbels (2018). Ia mengatakan bahwa kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tetapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjelma menjadi kebenaran,” ujarnya.
Aceng memaparkan, dalam contoh kasus propaganda war on terrorism AS, misalnya, terjadi pemaknaan baru mengenai terorisme di dunia global.
Pemaknaan baru itu bisa diamati ketika menyimak Timeline of Terrorist yang disusun Departemen Pertahanan AS pada 2002.
Baca juga: Soal Peta Jalan Pendidikan Indonesia, Rektor UPI: Sangat Urgen, tapi Harus Komprehensif
Dalam dokumen Gedung Putih itu, disebutkan bahwa dalam rentang waktu 1960-1969, 1970-1979, 1980-1989, 1990-1999, dan 2001-2006, terdapat pergeseran kecenderungan pemaknaan atas terorisme.
“Misalnya, sebelum era 2001-2006, hampir semua kejadian terorisme diidentifikasi sebagai kegiatan teror yang tidak berkaitan dengan Islam maupun Timur Tengah. Namun, dalam periode 2001-2006, kecenderungan ini berbalik secara diametral,” jelasnya.
Dokumen itu juga mencatat bahwa dalam periode 2001-2006, hampir semua terorisme dikaitkan dengan Islam atau Timur Tengah.
Setelah peristiwa 11 September 2001 atau dikenal sebagai Nine-Eleven, dunia seperti diguncang dengan pertempuran baru, yaitu perang global melawan terorisme dengan AS sebagai motor penggerak.
Baca juga: Atasi Jenuh Kuliah Daring, UPI Inovasi Tatap Muka Moda Broadcasting
“Sebagai sasaran, AS mengidentifikasi beberapa musuh, yakni negara busuk, senjata pemusnah massal, organisasi terorisme, dan terorisme itu sendiri,” sebut dia.
Sejak peristiwa itulah terorisme yang sebelumnya merupakan persoalan parsial masing-masing negara, berubah menjadi isu global yang menuntut perhatian dan partisipasi semua negara.
Dalam konteks Indonesia pascareformasi, fenomena global di atas juga tampaknya terjadi.
Menurut Aceng, ada kecenderungan hegemoni pemaknaan atas realitas oleh para konglomerat terhadap pihak yang kurang dominan.
Baca juga: UPI Rekrut Calon Mahasiswa Lewat 5 Jalur Seleksi
“Negara dan media didikte oleh para konglomerat untuk memberi pengaruh kepada pihak kurang dominan, dalam hal ini publik, mengenai berbagai pemberitaan tentang terorisme, radikalisme, dan kejahatan terhadap prinsip-prinsip berdemokrasi dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres),” terangnya.
Selain itu, ditemukan pula kencenderungan terjadinya hegemoni pemaknaan dalam media arus utama, baik cetak, elektronik, maupun virtual.
“Konstruksi pertama, pengabaian terhadap asas kepatuhan dan relevansi, konstruksi kedua, media telah menempatkan diri bukan hanya semata sebagai pelapor, melainkan telah bertindak jauh sebagai interogator bahkan inkuisitor,” jelasnya.
Hal itu, tambah Aceng, menjadi wujud nyata dari trial by the press yang bahkan telah digolongkan sebagai teror dalam bentuk lain.
Baca juga: Turnamen E-sports Liga Mahasiswa, Tim UPI-1 Terbaik di Jabar
Adapun konstruksi ketiga masih berkaitan dengan konstruksi nomor dua. Media cenderung gegabah dan sepihak dalam hal akurasi serta kualitas informasi.
“Kebanyakan media hanya mengandalkan informasi dari lembaga-lembaga resmi, seperti kalangan pemerintahan, lingkaran istana, pihak kepolisian yang merupakan representasi pihak yang paling berkuasa,” tuturnya.