KOMPAS.com – Guru Besar Pendidikan Kewirausahaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Hari Mulyadi M.Si mengatakan, pendidikan kewirausahaan yang diterapkan di perguruan tinggi masih belum memanfaatkan teknologi digital.
“ Perguruan Tinggi harus berani mengubah pendidikan kewirausahaan untuk membentuk digital entrepreneur (digitalpreneur) di kalangan mahasiswa tanpa memandang bidang ilmu yang dipelajarinya,” tutur Hari dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Selasa (8/6/2021).
Ia menjelaskan, istilah digitalpreneur memang belum populer di kalangan masyarakat dan pebisnis.
“Digitalpreneur sendiri memiliki arti yang kurang lebih, yaitu pelaku usaha yang menggunakan alat usahanya adalah segala sesuatu yang berbau digital,” jelasnya.
Baca juga: Alumnus IPB Ini Bangun Start Up demi Sekolahkan Seribu Pelajar
Hari melanjutkan, wirausaha digital adalah individu yang menciptakan dan menyampaikan aktivitas dan fungsi bisnis utama, seperti produksi, pemasaran, distribusi, dan manajemen pemangku kepentingan, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, teknologi internet.
Menurut Guru Besar UPI itu, meskipun mahasiswa sekarang tidak termasuk golongan gagap teknologi (gaptek), tapi kepandaian yang mereka miliki di bidang teknologi belum dimanfaatkan untuk menjadi enterpreneur atau wirausahawan.
Padahal, kata dia, wirausaha memiliki peran untuk menentukan kemajuan suatu bangsa.
Ia menyebutkan, kewirausahaan merupakan faktor penting yang berkontribusi pada kemakmuran negara, yakni mendorong munculnya usaha baru dan membatu memperluas lapangan kerja.
Baca juga: Alumni LPDP Bikin Start Up Berbagi Listrik di Daerah Terpencil
“Ketentuan ideal jumlah wirausaha yang dibutuhkan oleh negara mencapai kemakmuran menurut McClelland (1961) adalah sebanyak 2 persen dari jumlah populasi penduduknya,” tutur Hari.
Ia mengatakan, pada 2014 rasio entrepreneurship di Tanah Air baru 1,55 persen, kemudian meningkat menjadi 1,65 pada 2016, lalu hingga akhir 2017 mencapai lebih dari 3,1 persen.
“Namun, jika melihat kondisi riil yang ada di Indonesia, kata makmur sepertinya belum dapat disematkan bagi negara Indonesia, karena masih banyak masyarakat yang belum mampu hidup secara layak,” jelas Hari.
Menurut Hari, kehadiran revolusi industri 4.0 dan pandemi Covid-19 telah mengubah hampir seluruh kehidupan manusia.
Baca juga: Bertolak ke Tasikmalaya, Wapres Hadiri Rembuk Nasional Kewirausahaan dan Resmikan Bank Wakaf Mikro
Kedua peristiwa itu, lanjut Hari, menuntut adanya perubahan besar-besaran pada setiap sendi kehidupan, termasuk pada bidang pendidikan, di mana sumber daya manusia (SDM) harus memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis digital.
“Untuk menghadapi permasalahan di atas, dituntut kontribusi dari berbagai pihak, baik pemerintah, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dan kaum akademisi. Perguruan tinggi harus mampu mencetak input melalui proses pendidikan yang mampu melahirkan output yang cakap, berkarakter, dan berdaya saing,” jelasnya.
Tak hanya itu, menurut Hari, pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi juga membutuhkan dukungan dari lembaga perkantoran, perbankan, organisasi internasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
“Dukungan terebut akan memunculkan inovasi-inovasi di perguruan tinggi baik dalam hal uji coba kebaruan teknologi, program kemitraan dan kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Baca juga: Meningkat Pesat, Peserta UTBK SBMPTN 2021 di UPI Naik 94,39 Persen
Sebab itu, Hari mengatakan, sistem dan program pendidikan tinggi perlu disesuaikan supaya relevan dengan revolusi industri 4.0, salah satunya melalui pendidikan kewirausahaan dengan memanfaatkan teknologi digital.
“Dengan kondisi yang seperti itu, maka dosen dituntut untuk bisa mengarahkan pendidikan kewirausahaan dengan memanfaatkan teknologi digital,” ujar Hari.
Ia mengatakan, inovasi perguruan tinggi akan diwujudkan dalam kurikulum pendidikan kewirausahaan yang memberikan porsi teori melalui perkuliahan dan praktik kewirausahaan.
Adapun dalam penelitiannya pada 2013, Hari menyimpulkan bahwa kegiatan magang memiliki pengaruh yang positif terhadap sikap dan motivasi kewirausahaan yang berimplikasi pada perilaku kewirausahaan mahasiswa.
“Mitra kerja yang dipilih adalah mitra yang menjalankan pekerjaan berbasis digital serta pendampingan dari mitra kerja,” kata Hari.
Baca juga: ITS Peringkat Tiga Perguruan Tinggi Terbaik Indonesia
Mengutip dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Kemendikbud Ristek) pada 2020, Hari mengatakan, kegiatan pembelajaran atau magang dilakukan melalui kerja sama dengan perusahaan, yayasan nirlaba, organisasi multilateral, institusi pemerintah, maupun perusahaan rintisan atau start up.
“Hamdan (2019), menyimpulkan bahwa model yang digunakan untuk mengembangkan digital entrepreneur adalah melalui pelatihan kewirausahaan yang berorientasi pada pengembangan kreativitas dan inovasi dalam bentuk pelatihan dan praktik langsung pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” ujarnya.
Menurut dia, mahasiswa merupakan generasi yang adaptif dengan kemajuan dan perubahan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga sangat mudah mengikuti konsep digitalpreneur.
“Digitalpreneur diharapkan mampu dihasilkan oleh perguruan tinggi dikarenakan perguruan tinggi merupakan tempat segala pembaharuan berbasis riset dan teknologi sehingga kebaruan-kebaruan yang diperoleh telah teruji kelayakannya untuk diterapkan,” pungkasnya.