KOMPAS.com – Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Solehuddin mengatakan, pendidikan karakter untuk anak usia dini (AUD) tidak bisa hanya dilakukan dengan membahas isu-isu moral.
“Pendidikan karakter harus memberikan pengalaman yang kaya dan nyata kepada anak serta anak dapat melihat akibat dari perilakunya tersebut,” ujarnya dalam pidato pengukuhan guru besar UPI tahun 2020 (11/11/2020).
Solehuddin menilai, pendidikan karakter perlu dilakukan berbagai pihak terkait, khususnya guru dan orangtua. Bagi umat beragama, pendidikan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa perlu menjadi bagian dari pendidikan karakter.
Menurutnya, terdapat sejumlah persoalan dalam pendidikan karakter di rumah, sekolah, dan masyarakat yang membuatnya kurang efektif.
Hal itu seperti kurangnya pengetahuan dan keterampilan orangtua tentang pendidikan karakter, kondisi sosial-ekonomi keluarga yang kurang mendukung, hingga kekurangmampuan orangtua untuk berperan sebagai teladan.
Baca juga: Wisudawan UPI Gelombang III 2020 Diminta Berkontribusi pada Pendidikan Bangsa
Dia mencontohkan, sekolah menawarkan praktik pendidikan karakter yang masih lebih menekankan pada aspek pengetahuan, kurang bervariasinya metode pembelajaran, dan sulitnya menemukan sosok model yang bisa menjadi panutan siswa.
“Menjamurnya perilaku amoral di kalangan masyarakat, seperti korupsi, perilaku kekerasan, seks bebas, serta perkelahian antar warga juga merupakan contoh keadaan yang tidak kondusif untuk pendidikan karakter,” ujar Solehuddin.
Sebab, menurunnya, pendidikan karakter melibatkan semua aspek perilaku moral, pendidikan karakter memerlukan variasi cara dalam implementasinya.
Lebih lanjut, Solehuddin merekomendasikan pembelajaran berbasis bimbingan untuk diimplementasikan sebagai cara dalam memperkuat pendidikan karakter AUD di sekolah.
Baca juga: Dirjen Vokasi: Pendidikan Karakter Penting di Dunia Kerja dan Industri
“Pembelajaran berbasis bimbingan adalah kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menstimulasi dan memfasilitasi belajar dan perkembangan anak secara komprehensif, optimal, dan proporsional,” jelasnya.
Dia menerangkan, pendidikan ini diterapkan melalui intervensi dan penyediaan lingkungan belajar yang sejalan dengan prinsip-prinsip bimbingan.
Solehuddin memaparkan, ada lima prinsip bimbingan. Pertama, pembelajaran disediakan untuk semua anak, tanpa terkecuali. Kedua, guru memperlakukan anak sebagai individu yang unik dan berkembang.
Ketiga, guru mengakui anak sebagai individu yang memiliki kapasitas dan harga diri, walaupun dalam keadaan tertentu kadang-kadang mengalami kesulitan untuk menggunakan kapasitasnya secara optimal sehingga memerlukan kepedulian dan perlakuan khusus.
Baca juga: Di Masa Pandemi, Orangtua Berperan dalam Pendidikan Karakter Anak
Keempat, pembelajaran berfokus pada pengembangan kapabilitas anak untuk mampu merealisasikan dan mengaktualisasikan semua aspek kepribadiannya secara optimal, dan bukan hanya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan akademis.
Kelima, interaksi pembelajaran dicirikan dengan sikap positif, seperti kehangatan dan keterbukaan, pemahaman empatik dan responsiveness terhadap afeksi anak, hingga penerimaan dan respek.
Ciri sikap positif pembelajaran lainnya adalah penghargaan positif tanpa pamrih dan kejujuran, serta menyediakan kesempatan yang terbuka bagi anak untuk mengaktualisasikan minat, potensi, dan kapabilitasnya.
Solehuddin menyebut, ada sejumlah alasan untuk mendukung pemikiran ini. Salah satunya adalah sebagian besar aktivitas pembelajaran AUD adalah aktivitas bimbingan.
Baca juga: Kemendikbud Jelaskan Bentuk Pendidikan Karakter selama Belajar di Rumah
“Membelajarkan AUD lebih merupakan upaya memfasilitasi perkembangannya secara menyeluruh daripada aktivitas instruksional yang terfokus pada pengembangan kemampuan akademik,” tuturnya.
Dengan demikian, implementasi pembelajaran berbasis bimbingan bagi AUD sejalan dengan kegiatan pembelajaran yang relevan bagi mereka.
Alasan lain yang mendukung pemikiran ini adalah pembelajaran berbasis bimbingan mengembangkan segenap aspek perkembangan dan belajar anak, termasuk perkembangan karakter.
Oleh karena itu, implementasi Pembelajaran Berbasis Bimbingan bagi AUD dapat memperkuat pendidikan karakter tanpa mengabaikan aspek perkembangan lainnya.
“Akhirnya, pembelajaran berbasis bimbingan berpengaruh positif terhadap pengembangan karakter anak yang baik,” ujarnya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.
Baca juga: Dukung Kebijakan Pelayanan Publik Pemerintah, UPI Diapresiasi Kemendikbud
Solehuddin menerangkan, beberapa studi menunjukkan pengaruh positif dari pembelajaran berbasis bimbingan terhadap karakter anak usia dini.
Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran berbasis bimbingan dengan baik, diperlukan persiapan serta motivasi dan kemauan yang keras.
Solehuddin mengatakan, guru perlu belajar tentang cara anak berkembang dan belajar, konsep dan prinsip-prinsip bimbingan bagi AUD, dan tentang pembelajaran berbasis bimbingan itu sendiri.
Setelah itu, guru perlu mempelajari praktik pembelajarannya sendiri.
Dengan mempertimbangkan kelemahan dalam praktik mengajarnya, guru mengembangkan target perbaikan pembelajaran yang diharapkan dan membuat agenda untuk mengadopsi pembelajaran berbasis bimbingan.
Baca juga: Pendidikan Karakter Sekolah Menentukan Nasib Bangsa
“Dalam memformulasikan perbaikan yang ditargetkan, penting bagi guru untuk mempertimbangkan kondisi yang tersedia,” ungkapnya.
Konsultasi dengan kepala sekolah dan melakukan kemitraan dengan guru-guru lain juga esensial dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis bimbingan.
Terkait pembelajaran berbasis bimbingan tersebut, Solehuddin pun menilai pendidikan karakter sangat fundamental untuk anak usia dini (AUD).
Sebab pendidikan karakter bisa menjadi bekal bagi anak dalam membentuknya menjadi warga negara yang baik dalam batasan perilaku moral.
“Bahkan, dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan karakter menjadi unsur yang paling utama,” ungkapnya.
Solehuddin menyebut, karakter adalah bagian dari kepribadian yang terkait dengan judgment perilaku seseorang berdasarkan standar moral atau etis, seperti kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.
Baca juga: Pendidikan Karakter lewat Kisah 75 Orang Pemberani dari Nusantara
Menurut Lickona (1991), terangnya, karakter terdiri atas tiga komponen utama, yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.
Tiga komponen karakter tersebut diperlukan untuk mengarahkan kehidupan moral atau untuk membangun kematangan moral seseorang.
Sebagai orang beragama, Solehuddin berpendapat, unsur keimanan kepada Yang Maha Kuasa merupakan akan memperkuat perilaku moral seseorang.
Dia menambahkan, karakter merupakan kualitas perilaku moral dan etis yang cenderung dilakukan seseorang. Karakter tidak bersifat instrumental, tetapi lebih merupakan kecenderungan perilaku yang konsisten.
“Dalam kehidupan nyata, karakter akan berwujud sebagai performance character (seperti etika kerja) dan moral character (seperti hormat kepada orang lain),” paparnya.
Baca juga: 3 Syarat Pendidikan Karakter Berjalan Efektif
Oleh karena itu, dia menyimpulkan, pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan karakter baik pada anak.
Dalam hal ini, pendidikan karakter seyogianya menyediakan berbagai aktivitas untuk mempraktikkan perilaku yang mengembangkan semua aspek karakter anak yang baik.
Sebagai informasi, Solehuddin sendiriditetapkan sebagai profesor/guru besar UPI terhitung mulai 1 Desember 2019 dalam bidang Ilmu Bimbingan dan Konseling Anak melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 147234/MPK/KP/2019.