KOMPAS.com – Memasuki tahun ajaran baru, para orangtua biasanya mulai gelisah terkait pendidikan anak, terlebih jika sang buah hati belum bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Perkembangan anak yang terlihat begitu tertinggal dari teman-temannya membuat orangtua takut anaknya tidak bisa masuk sekolah dasar (SD) yang diidamkan.
Jika ditinjau lebih dalam lagi, ketakutan tersebut tak lepas dari anggapan masyarakat bahwa calistung adalah "tiket" masuk SD.
Akibatnya, tak jarang orangtua berbondong-bondong memasukkan anaknya ke tempat les untuk memacu kemampuan calistung.
Lantas, apakah benar calistung merupakan syarat masuk SD?
Sejauh ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tidak mengatur secara eksplisit tentang calistung sebagai syarat masuk SD.
Baca juga: Soal Pro Kontra Calistung di PAUD, Ini 5 Tanggapan Mendikbud Nadiem
Hal itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 67 Tahun 2013.
Dosen dan content writer Paudpedia Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikdasmen) Kemendikbud Ristek Ifina Trimuliana mengatakan, pemerintah telah menyusun serangkaian program tentang kesiapan anak bersekolah sesuai tahapan perkembangannya.
“Di dalamnya tidak ada satu kalimat pun yang menekankan bahwa calistung adalah hal pokok sebagai syarat masuk SD,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (28/6/2022).
Ifina juga menekankan, perkembangan anak usia dini berbeda dengan usia lainnya. Sebab, mereka berada pada masa golden age atau masa emas perkembangan membutuhkan stimulasi yang tepat.
“Yang harus diingat, pembelajaran di satuan PAUD tidak boleh disamakan dengan tingkat SD di kelas tinggi yang memang diharapkan sudah mahir calistung,” tegasnya.
Baca juga: PAUD Diimbau Tidak Tuntut Anak Menguasai Calistung
Menurutnya, calistung bagi anak usia dini berada pada tahap “perkenalan”. Oleh karenanya, “mengenalkan” berbeda dengan “mengajarkan”. Dalam tahap mengenalkan, tidak ada tuntutan anak harus mahir pada saat itu juga.
“Yang terpenting, pengenalan harus dilakukan sesuai dengan tahapan usianya. Kuncinya, anak harus gembira saat proses tersebut berjalan,” jelasnya.
Ifina juga menjelaskan, pengenalan merupakan langkah awal untuk memunculkan atau meningkatkan kepekaan terhadap makna, bunyi, ataupun simbol-simbol huruf dan angka.
Kemudian, pengenalan berlanjut pada kata-kata yang bermakna dan kecintaan terhadap buku, serta kemampuan menerjemahkan dan menginterpretasikan angka-angka dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dikenal sebagai kemampuan praliterasi dan pranumerasi.
Kemampuan praliterasi mengacu pada kemampuan anak untuk mencari, mengolah, dan menggunakan informasi dalam kehidupannya.
Baca juga: Belum Saatnya Anak PAUD dan TK Diajarkan Calistung
Dengan demikian, calistung adalah bagian dari praliterasi dan pranumerasi yang seharusnya juga disebut sebagai pracalistung.
“ Orangtua memiliki peran penting dan peran utama dalam pracalistung ini karena waktu anak jauh lebih banyak di rumah dibandingkan bersama guru,” terangnya.
Ifina juga menyarankan orangtua memberikan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip PAUD, yaitu bermain sesuai dengan karakteristik anak dan lingkungan sekitar.
“Artinya, pracalistung justru lebih baik menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan atau benda yang sering mereka temui dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dia mencontohkan, anak tidak melulu harus diberikan mainan yang mahal, tetapi memanfaatkan potensi alam di sekitar sebagai bahan mainan kesukaan anak, seperti kerang, kerikil, dedaunan, ranting, dan lainnya.
Lebih lanjut, Ifina menjelaskan beberapa dampak yang terjadi jika anak usia dini terus dipaksakan agar mahir calistung.
Baca juga: Jangan Paksa Anak Usia Dini Belajar Calistung, Ini Akibatnya...
Pertama, anak bisa mogok belajar. Dia menegaskan, sesuatu yang dipaksakan pasti tidak baik bagi anak. Pasalnya, mereka akan merasa tertekan dan stres dengan tuntutan-tuntutan agar bisa masuk SD.
Tekanan dan rasa stres tersebut, lanjut Ifina, akan mereka bawa hingga batas waktu yang tidak bisa ditentukan sehingga bisa saja mengganggu mental emosional anak.
“Inilah salah satu penyebab anak 'mogok belajar' di jenjang pendidikan berikutnya karena masa bermainnya sudah diambil untuk belajar sehingga masa belajarnya akan mereka ambil untuk bermain,” terangnya.
Kedua, memaksa anak mahir calistung bisa menghambat kreativitas. Ifina menyebutkan, setiap anak terlahir unik dengan minat, bakat, gaya belajar, dan potensi yang berbeda-beda.
Ketika waktu anak dihabiskan untuk belajar calistung, di saat yang bersamaan mereka kehilangan kesempatan untuk mengasah potensi yang sebenarnya mereka miliki.
Baca juga: Memahami Pentingnya Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak
“Mungkin jika kita membiarkan mereka tumbuh sesuai potensinya, bisa saja kelak ia menjadi pelukis yang profesional, pemain bola, penyanyi, dan lainnya,” tuturnya.
Minimnya pengetahuan orangtua pun mengorbankan waktu anak-anak untuk belajar sesuatu yang bukan bakatnya dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Ifina menilai, dalam kondisi ini anak benar-benar sangat dirugikan. Orangtua maupun guru memerlukan pemahaman untuk tidak mengutamakan ambisi agar anak mencapai tujuan tertentu yang justru memperburuk tumbuh kembang anak.
“Memaksakan berarti telah merampas hak bermain anak usia dini. Tindakan ini juga sama halnya dengan kekerasan intelektual kepada anak,” tegasnya.
Dia mengatakan, saat ini sudah banyak pihak yang semakin menyadari permasalahan tersebut, termasuk para mitra Kemendikbud Ristek yang bergerak di bidang pendidikan anak usia dini.
Ifina menyebutkan, stakeholder pendidikan pun berupaya mendorong orangtua dan pendidik PAUD lebih mengedepankan pengasuhan dan pendidikan anak sesuai tahapan usianya, contohnya seperti yang dilakukan Tanoto Foundation melalui program Siapkan Generasi Anak Berprestasi (Sigap).
Baca juga: Hadirkan Rumah Anak Sigap, Tanoto Foundation Pastikan Anak Indonesia Berkembang Sesuai Tahapan
“Jadi ayah dan bunda tidak perlu terlalu khawatir. Anak akan mempunya kemampuan calistung pada waktunya selama ia mendapatkan stimulasi yang sesuai dengan tahapan usianya,” katanya.
Di sisi lain, kata Ifina, kondisi mental emosional anak yang terganggu akibat pemaksaan justru lebih sulit untuk dipulihkan.