KOMPAS.com - Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen atau dialami sekitar 4,6 juta bayi di bawah lima tahun (balita).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang disebabkan kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi berulang sejak menjadi janin dalam kandungan sampai usia dua tahun atau 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Kondisi gagal tumbuh itu dapat diukur melalui panjang dan tinggi badan menurut umur.
Dampak jangka pendek stunting, antara lain terganggunya perkembangan otak, termasuk gangguan kemampuan fungsi kecerdasan anak, dan gangguan pertumbuhan fisik atau gangguan pertumbuhan tinggi badan.
Stunting juga meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus, hipertensi, jantung koroner, dan stroke.
Baca juga: Aktif Bantu Penurunan Stunting, Tanoto Foundation Terima Penghargaan dari Marruf Amin
Mengutip Stunting-pedia: Apa yang Perlu Diketahui tentang Stunting yang diterbitkan Tanoto Foundation, upaya pencegahan stunting memerlukan intervensi gizi spesifik dan sensitif yang saling mendukung.
Intervensi gizi spesifik adalah intervensi yang menyasar penyebab langsung masalah gizi, seperti pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dan makanan pendamping ASI (MPASI), pola asuh, serta pencegahan dan penanganan penyakit infeksi.
Sementara itu, intervensi gizi sensitif adalah intervensi yang menyasar penyebab tidak langsung dari masalah gizi, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi layak, pendidikan anak usia dini, ketahanan pangan, dan jaminan sosial.
Penguatan praktik pemberian makanan bayi dan anak (PMBA) merupakan salah satu intervensi gizi spesifik yang menyasar ibu hamil dan orangtua dengan balita.
Grants Manager Early Childhood Education and Development (ECED) sekaligus Team Leader Program Stunting Tanoto Foundation Fransisca Wulandari menjelaskan, praktik pemberian makan bayi dan anak (PMBA) yang tidak tepat akan menyebabkan anak tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup dan optimal.
Baca juga: Bantu Penurunan Stunting lewat Buku dan e-Learning, Tanoto Foundation Dapat Apresiasi dari BKKBN
“Padahal periode emas tumbuh kembang anak adalah usia 0-2 tahun. Saat usia ini, anak sangat membutuhkan asupan gizi yang lengkap dan cukup sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (13/10/2023).
Fransisca menjelaskan, praktik PMBA yang sering terjadi di Indonesia adalah rendahnya pemberian protein, khususnya hewani, pada anak selama periode pemberian MPASI pada anak usia 6 bulan ke atas.
Hal itu terlihat saat orangtua cenderung memberikan nasi atau bubur sebagai MPASI.
“Perilaku itu ditambah dengan kebiasaan kurang baik, yaitu mengkonsumsi makanan tidak sehat atau makanan yang diolah secara instan,” katanya.
Padahal, kata Fransisca, Indonesia mempunyai banyak pangan segar yang dapat ditemukan dengan mudah dan diproduksi secara lokal.
Baca juga: Aktif Bantu Penurunan Stunting, Tanoto Foundation Terima Penghargaan dari Marruf Amin
Fransisca juga menjelaskan, salah satu langkah Tanoto Foundation untuk meningkatkan praktik PMBA dalam upaya percepatan penurunan stunting adalah mengembangkan studi Desain Berbasis Masyarakat (DBM) bersama Alive and Thrive.
“Pendekatan DBM merupakan studi yang menggunakan human-centered design atau pendekatan yang bertumpu pada gagasan bahwa masyarakat merupakan bagian terpenting yang harus terlibat secara langsung dalam merancang proses perubahan untuk dirinya sendiri,” ungkap Fransisca.
Dia menyebutkan, pendekatan DBM itu melibatkan keluarga dalam mencari solusi dan merumuskan inovasi membangun perilaku positif terkait pencegahan stunting.
“Tujuannya, orangtua dan keluarga jadi semakin semangat dan mandiri untuk menerapkan praktik pemenuhan gizi anak yang sesuai dengan kaidah PMBA dan perkembangan anak usia dini,” ujarnya.
Baca juga: Bantu Perangi Stunting, Tanoto Foundation Raih Penghargaan Mitra Kerja BKKBN
Studi itu dilakukan di desa yang berlokasi di enam provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Inovasi yang dihasilkan komunitas dalam upaya percepatan pencegahan stunting melalui studi DBM itu sangat beragam, seperti buku resep yang disusun dan dikembangkan masyarakat di Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat.
Buku resep tersebut berisi tips cara mengenalkan makanan baru kepada bayi, resep camilan sehat buatan rumah, serta reaksi anak saat mencoba berbagai resep tersebut.
Sementara itu, masyarakat di Sulawesi Barat berinovasi dengan merancang ruang konseling baru untuk pos pelayanan terpadu (posyandu).
Hal itu membuat para ibu merasa lebih nyaman dan aman untuk menerima konseling terkait PMBA dan pengasuhan anak usia dini.
Baca juga: Pemprov Sulsel, Tanoto, dan UNICEF Luncurkan Buku Percepatan Penurunan Stunting
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), kelompok ibu-ibu membentuk kelompok memasak yang dilakukan rutin seminggu sekali sekaligus untuk berkumpul, berdiskusi, dan mencoba menu baru yang sehat bagi bayi dan balita.
Fransisca mengatakan, pihak pemerintah, mitra lembaga pembangunan, dan para ahli dapat memfasilitasi proses desain bersama masyarakat.
“Tidak sekadar langsung memberikan solusi, tetapi kami berikan kesempatan bagi masyarakat untuk secara mandiri menemukan solusi dari permasalahan yang ada di daerah/komunitas mereka,” katanya.
Fransisca berharap, pendekatan itu dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan kepada para orangtua dan keluarga mengenai praktik PMBA dan pengasuhan anak usia dini.
Dia berharap, dengan pendekatan DBM, pemecahan masalah pemenuhan gizi melalui komunikasi dua arah yang efektif dapat tercapai.
“Kami harapkan dengan terjadi perubahan perilaku yang baik di masyarakat, maka upaya pencegahan stunting dapat tercapai,” harapnya.
Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai studi dengan pendekatan DBM, kunjungi laman SIGAP Tanoto Foundation di sigap.tanotofoundation.org.