KOMPAS.com - Budaya patriarki yang mengharuskan ayah sebagai tulang punggung keluarga dan ibu sepenuhnya mengurus rumah tangga berlaku umum di keluarga Indonesia.
Kemampuan biologis untuk hamil dan melahirkan membuat peran pengasuhan melekat pada perempuan, sedangkan peran mencari nafkah menjadi tugas laki-laki sebagai ayah.
Pembagian peran ibu dan ayah yang didasari kondisi biologis sering memunculkan permasalahan di dalam praktik pernikahan karena ibu turut bekerja.
Peneliti Southeast Asian Ministers of Education Organization Center of Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP) Assila Prianggi HB mengatakan, parameter keberhasilan seorang ayah diukur dari gaji.
Sementara itu, keberhasilan seorang ibu dinilai dari perannya mengatur dan mengelola rumah termasuk pengasuhan anak.
Baca juga: Patriarki Sebabkan Keterwakilan Perempuan dalam Politik Tak Maksimal
“ Ibu yang pintar memasak, menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, serta dengan sabar dan lemah lembut mengurus anak dan suami adalah sosok ibu ideal dalam narasi patriarki,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (2/11/2023).
Lebih dari itu, meski ibu mengambil peran untuk mencari nafkah, masyarakat patriarki tetap menganggap ayah tidak kompeten untuk mengasuh anak sehingga anak dirasa lebih baik dititipkan pada ibu mertua atau ibu kandung.
Assila menyebutkan, label tidak kompeten serta tekanan sosial menimbulkan rasa malu dan hilang harga diri ayah untuk mengambil alih peran pengasuhan.
Penelitian dari Afriliani, Adriany, dan Yulindrasari (2021) tentang fenomena ibu sebagai pekerja migran perempuan (PMP) menunjukkan fenomena menarik terkait peran pengasuhan ayah dalam budaya patriarki.
Baca juga: Menilik Budaya Patriarki di Indonesia
Penelitian itu menemukan para istri di satu wilayah Kabupaten Sukabumi yang memilih menjadi pencari nafkah demi meningkatkan kesejahteraan keluarga. Tiga orang ayah yang mengasuh anak di rumah dipilih menjadi responden.
Salah seorang responden berkata bahwa pada awalnya dia merasa malu karena ada tekanan sosial yang menilai laki-laki tidak pantas mengasuh anak.
Namun, dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengambil peran pengasuhan karena orangtua dan mertuanya sudah tua sehingga tidak dapat diberi tanggung jawab mengasuh anak.
Seiring berjalannya waktu, para ayah ini semakin merasa kompeten dan percaya diri ketika mengasuh anak-anak mereka.
Ayah mampu menyuapi makan, mengawasi penggunaan gadget, membatasi asupan jajan yang tidak bergizi, sampai mengantar-jemput sekolah.
Baca juga: Patriarki dan Kekerasan terhadap Perempuan Adat
Assila mengatakan, temuan itu menarik karena setelah terjadi perubahan struktur keluarga yang “memaksa” pertukaran peran ayah dan ibu. Sebab, ayah ternyata bisa menjaga, merawat, dan menjalankan tugas-tugas pengasuhan.
“Sayangnya, posisi ibu bekerja sebagai tulang punggung tidak lantas mengubah hierarki keluarga dalam budaya patriarki. Ibu sebagai pencari nafkah utama tetap sebagai ‘pembantu’ perekonomian keluarga,” ujarnya.
Kondisi pemaksaan ini terbukti tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki.
Assila yang berpengalaman menjadi guru taman kanak-kanak (TK) selama sembilan tahun mengatakan, melekatnya peran pengasuhan pada perempuan juga dialami guru-guru yang bekerja.
Dia menceritakan, seorang ayah dari muridnya yang bernama Adi menggantikan peran ibu bekerja mengeluhkan pandangan nyinyir karena dirinya tidak bekerja.
Baca juga: Menteri PPPA: Patriarki Kuat, Kesetaraan Gender Masih Jauh dari yang Kita Cita-citakan
Pada saat pelaporan tumbuh kembang anak, ayah Adi terlihat nyaman dan luwes bergabung dengan para ibu sambil membicarakan hasil laporan anak-anak mereka.
“Sayangnya, karena keluwesannya ayah Adi sering jadi bulan-bulanan para guru ketika dengan sabar dan telaten mengantar jemput Adi serta berkumpul dengan ibu-ibu yang lain,” katanya.
Assila mengatakan, ketika ayah Adi memilih bersikap permisif terhadap pola makan Adi, guru-guru di TK yang semuanya perempuan menyalahkannya. Mereka menilai kesalahpahaman terjadi dia adalah laki-laki yang tidak dapat mendisiplinkan anak.
Tanpa ada diskusi dan bimbingan tentang pola makan sehat, guru-guru memandang Ayah Adi secara alami tidak mampu memahami kebutuhan makan anak sehat.
“Dari sudut pandang ini hegemoni patriarki juga merugikan laki-laki dan anak,” jelasnya.
Baca juga: Review Film Yuni, Remaja yang Terkurung dalam Budaya Patriarki
Assila menegaskan, budaya patriarki yang melekat kuat di masyarakat Indonesia adalah hasil konstruksi gagasan superioritas laki-laki yang dilakukan sepanjang sejarah manusia.
“Budaya ini diturunkan dari generasi ke generasi, hingga terinternalisasi menjadi sesuatu yang alamiah. Laki-laki yang tidak bisa mengasuh adalah sesuatu yang alamiah,” ungkapannya.
Sementara itu, budaya patriarki menganggap perempuan yang mencari nafkah melanggar ketentuan alamiahnya.
Tidak hanya itu, kekusutan pembagian kerja dari framework patriarki juga menimbulkan stigma negatif yang merugikan laki-laki atau ayah itu sendiri, bahkan tumbuh kembang anak yang ikut dikorbankan.
Sebab, ketika ayah memilih untuk mengasuh, selalu ada stigma negatif yang dimunculkan lingkungan.
Baca juga: Angkatan Kerja Perempuan Masih Rendah, Menaker: Budaya Patriarki Masih Mengakar
“Untungnya, Hegemoni patriarki dari kelompok penguasa yang secara tidak sadar diterima karena pengulangan cerita yang berabad-abad dilakukan tidak melulu kokoh tanpa tantangan,” ujarnya.
Fenomena PMP dan kisah ayah Adi di atas menjadi satu narasi yang menantang hegemoni patriarki.
Assila mengatakan, perubahan struktur keluarga memaksa ayah bertukar peran dan mematahkan peran mereka sebagai pencari nafkah utama.
Sebab, kemampuan mencari nafkah dan mengasuh yang digadang-gadang alamiah terbukti dapat dipertukarkan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, peningkatan persentase rata-rata pekerja perempuan adalah 54 persen dari total penduduk Indonesia per 2022, yaitu 273 juta jiwa.
Baca juga: Patriarki: Pengertian dan Sejarah Singkatnya
Keterlibatan perempuan di sektor industri sejak lima tahun terakhir berdampak pada ketimpangan gaji. Tidak jarang ditemukan kasus ketika gaji istri lebih besar dari gaji suami.
Hal itu berdampak pada tingginya angka perceraian. Data dari Kementerian Agama (Kemenag) pada 2022-2023 menunjukan bahwa perceraian lebih banyak dialami ibu pekerja ketimbang ibu rumah tangga.
“Stigma negatif ayah tidak kompeten dalam pengasuhan dan tingginya angka perceraian disebabkan gaji istri yang lebih tinggi sejatinya dapat dihindari dalam relasi nonpatriarki,” ungkapnya.
Dia mengatakan, berbagi tanggung jawab, baik dalam perihal pengasuhan maupun ekonomi, dapat membuka ruang diskusi untuk bekerja sama secara fleksibel menjalankan tugas mencari nafkah dan pengasuhan.
Penelitian lain menemukan, peran serta ayah dalam pengasuhan dapat membantu keharmonisan dan kehangatan relasi suami-istri yang sudah berjalan selama 20 tahun pernikahan.
Baca juga: Kasus Perkosaan Anak di Bawah Umur oleh Oknum Polisi dan Efek Patriarki
Selain itu, peran ayah yang secara konsisten berinteraksi dengan anak dalam setiap tahap perkembangan dapat membangun kedisiplinan positif anak.
Perkembangan sosial dan emosional yang sehat menumbuhkan kepercayaan diri anak, karena ada konsistensi pengasuhan dalam interaksi bermakna antara ayah dan anak.
Pembagian tanggung jawab yang tidak dikunci dalam kedangkalan perbedaan biologis perempuan dan laki-laki sejatinya menjadi potensi untuk menciptakan relasi seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Hubungan itu didasari relasi kemanusiaan tanpa mengagung-agungkan “kekuatan” salah satu jenis kelamin di atas “kelemahan” jenis kelamin yang lain.
Sebagai informasi, sejak 2022, SEAMEO CECCEP bekerja sama dengan Tanoto Foundation, organisasi filantropi independen di bidang pendidikan yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada 1981.
Baca juga: Patriarki: Pengertian dan Sejarah Singkatnya
Kerja sama antara Tanoto Foundation dan SEAMEO CECCEP fokus pada program-program pengembangan dan pendidikan anak usia dini di Indonesia