KOMPAS.com - Peneliti Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Center of Early Childhood Care Education and Parenting (CECCEP) Assila Prianggi Humara Baiin mengatakan, setiap ayah berubah menjadi "tulang punggung keluarga" ketika anak mereka lahir di dunia.
Untuk diketahui, SEAMEO CECCEP merupakan salah satu mitra kerja sama Tanoto Foundation, organisasi filantropi independen di bidang pendidikan yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada 1981. Sejak tahun 2022, Tanoto Foundation dan SEAMEO CECCEP berkolaborasi dalam berbagai program untuk pengembangan dan pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia.
“(Ayah) bertugas mencari nafkah untuk kebutuhan susu, popok, imunisasi, sampai pendidikan anak agar menjadi 'orang' adalah tanggung jawab utamanya,” ucapnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (2/11/2023).
Tak hanya itu, lanjut Assila, ayah juga berperan dalam menafkahi ibu yang memegang roda kehidupan rumah. Hal ini bertujuan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup keluarga.
Baca juga: Mencegah Stunting, Peran Ayah Juga Penting
Menurutnya, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ayah memiliki peran besar dan penting, sehingga peran mereka dirayakan lewat peringatan hari ayah setiap tahunnya.
“Lantas saya pun mulai dengan satu pertanyaan yang muncul dari kekaguman terhadap ayah. Ayah itu Superman, ya? Jawaban klise terkait pertanyaan ini sering kali kita dengar, seperti Ayah kan lelaki, lelaki itu kuat, sedari kecil pantang menangis. Malu, gengsi, lelaki kok nangis?” ujar Assila.
Dengan kata lain, anak laki-laki yang kuat dikonstruksi sedari kecil sebagai proyeksi sosial laki-laki dewasa bernama ayah yang berperan menjadi tulang punggung keluarga atau pencari nafkah.
Assila menyebut, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Sejumlah nilai inilah yang turut mengatur relasi suami-istri, pernikahan, dan keluarga.
Baca juga: Pentingnya Peran Ayah Mendukung Pemberian ASI Eksklusif
“Sehingga konstruksi peran suami dan istri umum dipertentangkan sebagai kodrat lelaki dan perempuan di tataran praktik pernikahan dan keluarga Indonesia,” imbuhnya.
Narasi kodrat, lanjut Assila, meyakini bahwa lelaki memiliki kapasitas genetik untuk bekerja mencari nafkah. Sedangkan, kapasitas perempuan mengurus semua urusan rumah termasuk pengasuhan anak.
Ia mengungkapkan, penelitian lainnya menyebut fenomena tersebut sebagai hegemoni Islam di Indonesia.
“Stereotipe peran gender ayah sebagai tulang punggung keluarga di Indonesia diperkuat dengan fakta bahwa tugas pengasuhan anak tidak dapat diambil alih oleh suami yang tinggal di kampung halaman, sementara sang istri menjadi tenaga kerja wanita (TKW),” jelas Assila.
Sebagai salah satu personel di salah satu instansi pemerintah di Jawa Barat (Jabar), ia mengaku sering mendengar ujaran di antara rekan-rekan kerja, terutama laki-laki, bahwa mereka harus bekerja siang dan malam hanya untuk anak dan istri.
Baca juga: Maknai Peran Ayah, Nakita.id Gelar Acara Ayah S.I.A.P 2021 di Hari Ayah
Apabila hal tersebut dikeluhkan, maka mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan anak dan istri. Ujaran ini terucap dari salah seorang bapak muda, sebut saja Andi, yang memiliki dua orang anak bayi dan bayi bawah lima tahun (balita).
Seyogyanya, Andi dapat mewakili peran ayah sebagai tulang punggung keluarga yang dimaklumkan sebagai peran natural seorang laki-laki sesuai kodratnya.
Terlepas dari debat panjang tentang peran ayah sebagai tulang punggung keluarga yang merupakan kodrat ataukah konstruksi sosial, Assila mencoba menerjemahkan komitmen pemerintah Indonesia yang berjanji memberikan kesempatan adil kepada seluruh warga negara, baik laki-laki maupun perempuan untuk berkontribusi aktif di ranah publik dan pembangunan bangsa.
Hal tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000, Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2007, UU Nomor 23 Tahun 2014, Peraturan Presiden (Perpres) Perpres Nomor 18 Tahun 2020, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Baca juga: Peran Ayah dalam Keuangan Keluarga
“Saya berasumsi bahwa peran ayah dalam pengasuhan dapat meningkatkan kontribusi ibu atau perempuan dalam ranah publik, karena pekerjaan domestik yang secara berat sebelah dibebankan pada perempuan menjadi satu tantangan tersendiri ketika ibu ingin berkarier dan bekerja,” jelas Assila.
Mengutip studi penelitian oleh Zhao et al (2021), ketika ibu bekerja, mereka tidak hanya menanggung beban kerja, tetapi juga beban rumah tangga. Hal ini justru membuat perempuan memikul beban ganda.
Oleh karena itu, Assila memotret dilema seorang ayah muda dari kelas menengah ke bawah yang sibuk menjadi tulang punggung keluarga, tetapi berharap tidak kehilangan momen tumbuh kembang anaknya.
“Namun, kemudian muncul pertanyaan, apakah mungkin di tengah kesibukan dan peran sebagai tulang punggung keluarga, seorang ayah dapat terlibat dalam pengasuhan?” ucapnya.
Baca juga: Budaya Patriarki Bikin Peran Pengasuhan Anak Makin Sulit
Assila mencontohkan, Andi sebagai pegawai honorer memiliki penghasilan sesuai upah minimum regional (UMR) Provinsi Jabar. Di tengah kondisinya ini, Andi memiliki tanggung jawab untuk menghidupi istri dan dua anaknya.
Tak hanya itu, Andi juga memiliki cicilan rumah, cicilan motor, serta tanggungan mertua dan orangtua. Berbagai kebutuhan ini memaksa Andi untuk bekerja lebih keras. Akhirnya, dia menjalani tiga kerja sampingan, yaitu buruh serabutan, pengantar paket, hingga tukang kebun di rumah mertua.
Jika dihitung, keseluruhan total jam kerja Andi mencapai 18 jam per hari. Bahkan, Andi sempat melempar guyonan, “kalau bisa satu hari lebih dari 24 jam”. Guyonan tapi serius ini dimaksudkan Andi agar kebutuhan keluarganya dapat terpenuhi dan sekaligus bisa beristirahat.
Di balik kerja keras tersebut, anak batita Andi, Sarah, bertanya dengan polos, "Ayah kapan main dengan Sarah?"
Mendengar pertanyaan polos itu, Andi merasa dilema. Setiap bekerja selama 18 jam sehari, dia dihantui rasa bersalah.
Mungkin stereotipe peran ayah sebagai tulang punggung keluarga tidak membuat Andi berkeluh kesah dalam mengerjakan empat pekerjaan sekaligus, tapi perasaan bersalah karena tidak memiliki waktu untuk bermain bersama anak yang menjadi persoalan.
“Ada kontradiksi yang menjadi plot twist ayah bekerja demi anak tetapi mengorbankan relasi ayah dan anak itu sendiri. Perasaan bersalah Andi sebagai ayah bekerja sepantasnya mendapat bantuan dan solusi demi kepentingan ayah dan anak,” ucap Assila.
Ia mengungkapkan, Andi juga menyadari bahwa dirinya tidak dapat meluangkan waktu berkualitas bersama Sarah. Padahal, tiga tahun dianggap sebagai usia emas anak yang hanya datang sekali saja. Usia ini juga dianggap waktu prima bagi anak untuk menerima berbagai macam stimulasi.
Ditambah lagi, Sarah sendiri mengutarakan suaranya untuk bermain dengan sang ayah. Hal ini dapat diklasifikasikan sebagai suara anak serta hak partisipasi anak.
Baca juga: Psikolog UGM: Ini 5 Macam Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga
Pada kesempatan tersebut, Assila menjelaskan, stimulasi maksimal di usia emas adalah ide pokok penyelenggaraan PAUD berkualitas.
Ide masif tentang pentingnya PAUD, kata dia, sudah lama hadir di Indonesia.
“Menurut (Adriany, 2022) sejalan dengan deklarasi Education for all di Dakar, PAUD di Indonesia mulai mendapatkan perhatian nasional sejak 1990,” ucap Assila.
Komitmen internasional terkini, lanjutnya, lahir dari negara-negara di Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) yang berkomitmen dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 4.2 untuk membuka akses prasekolah seluas-luasnya bagi anak laki-laki dan perempuan.
Oleh karenanya, pemerintah pun membuat kebijakan wajib belajar 12 tahun untuk anak-anak sekolah, termasuk satu tahun wajib prasekolah atau PAUD. Kebijakan ini tertuang dalam RPJMN 2020-2024.
Baca juga: 7 Cara Pengasuhan Anak yang Dilakukan Orangtua Sebelum Ada Internet
“Sayangnya, perhatian nasional dan global terhadap PAUD tidak berbanding lurus dengan terbukanya akses PAUD yang berkualitas bagi semua anak, termasuk anak dari latar belakang sosial dan ekonomi lemah seperti Sarah,” ujar Assila.
Senasib dengan Sarah, lanjutnya, partisipasi PAUD anak jalanan, anak dari pekerja perkebunan yang nomaden, anak dari suku pedalaman, dan anak di daerah timur Indonesia juga masih rendah.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada 2022, hanya 12,71 persen angka partisipasi kasar anak ke PAUD di Provinsi Papua.
Selain itu, mengutip dari Adriany et al., 2021 yang melakukan penelitian dengan anak jalanan, disebutkan bahwa banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di PAUD, tetapi keinginan mereka terbentur biaya yang sangat mahal.
Baca juga: Menteri PPPA Minta Pemda Pastikan Pengasuhan Anak Ditinggal Orangtua akibat Covid-19
Bercermin dari kebijakan yang responsif terhadap dilema orangtua bekerja, Assila mengatakan, selain sebagai tulang punggung keluarga, ayah juga berperan membantu tumbuh kembang anak secara holistik.
Dalam peran tersebut, kata dia, ayah tidak hanya memenuhi kebutuhan materi anak, tetapi juga kebutuhan afektif dalam pengasuhan.
“Sehingga hak ayah untuk berkontribusi dalam tumbuh kembang anak. Ini adalah formula yang sangat penting untuk kita sadari bersama,” jelas Assila.
Mengutip Murray et al., 2020, United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) atau Konvensi Hak-hak Anak menyuarakan empat karakteristik hak anak.
Salah satunya adalah indivisible atau tidak dapat dipisahkan atau saling terintegrasi antara hak yang satu dengan hak yang lainnya.
Baca juga: 6 Cara Kelola Emosi pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Menurut Jane Murray pada 2020, sebagai pengajar di bidang PAUD, makna indivisible mengalami perkembangan, tidak hanya secara integral intrinsik hak anak, tetapi juga ekstrinsik. Unsur ekstrinsik erat kaitannya dengan hak manusia dan hak orang dewasa.
“Dengan kesadaran akan kaitan antara hak anak dan hak orangtua, tentunya Andi sebagai seorang ayah yang merasa bersalah perlu didukung secara konkret dengan membuka akses PAUD berkualitas,” ucap Assila.
Menurutnya, merespons dilema Andi sebagai ayah dapat membantu mengurai kekusutan peran ayah yang kontradiktif. Sebab, peran ayah yang dianggap semata-mata untuk memenuhi kebutuhan materi anak, justru akan mengorbankan anak.
Ketika para praktisi dan pendidik PAUD memikirkan dampak jangka panjang terhadap pemenuhan hak anak, terutama hak partisipasi anak, ada benang merah dengan usaha membangun generasi bangsa yang berakhlak mulia karena suburnya kesadaran manusia Indonesia sebagai pemilik hak sekaligus kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.
Baca juga: Menteri PPPA: Stunting Disebabkan Pola Hidup dan Kualitas Pengasuhan Anak yang Rendah
“Terakhir, tapi tidak kalah penting adalah peran aktif pemerintah dalam membuka akses PAUD berkualitas,” jelas Assila.
Menurutnya, kebijakan yang dicontohkan oleh negara-negara Skandinavia dengan melibatkan peran ayah pada awal tumbuh kembang anak kemungkinan menjadi titik krusial memulai kontribusi penting ayah di ranah domestik.
Ranah domestik, kata Assila, tidak hanya menjadi hak ibu tetapi juga hak ayah. Hal ini karena semua anak termasuk anak laki-laki selalu berada dalam ranah domestik sebelum mengambil peran sebagai pencari nafkah dalam sebuah keluarga atau menjadi seorang ayah.
“Mengutip pemikiran kaum feminis dari tulisan Sadownik & Jevtic pada 2023, jangan sampai posisi lelaki sebagai tulang punggung keluarga menimbulkan hak istimewa untuk tidak bertanggung jawab di ranah domestik, privilege to be irresponsible,” ujar Assila.
Baca juga: Ini Lho, Gaya Pengasuhan Anak Keluarga Kerajaan Inggris