KOMPAS.com – Grants Manager Tanoto Foundation Fransisca Rina Wulandari memaparkan, pihaknya telah melakukan studi di berbagai wilayah Indonesia untuk mendalami masalah pemberian makan bayi dan anak ( PMBA) serta mencari solusi bersama masyarakat.
Adapun beberapa provinsi yang masuk dalam wilayah penelitian antara lain Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku.
“Kami ingin melihat perilaku kunci pemberian makan bayi dan anak usia enam sampai 23 bulan serta ibu pada kelompok populasi yang berbeda,” papar Fransisca dalam Web Seminar (Webinar) Hari Gizi Nasional ke-62 bertema “Cegah Stunting Selalu Penting” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kamis (3/2/2022).
Ia mengatakan, lokasi studi dipilih berdasarkan topografi dan demografi berbeda di seluruh Indonesia untuk mendapatkan data bervariasi dari berbagai daerah.
“Jadi lokasi-lokasinya sendiri ada yang di coastal, ada yang di pedesaan, ada juga yang di pegunungan, dengan jumlah populasi yang bervariasi, sehingga kita bisa mendapat berbagai macam perilaku dari berbagai daerah,” tuturnya.
Baca juga: Juarai Kompetisi Riset Tanoto Foundation, Ini Inovasi Para Mahasiswa
Fransisca mengatakan, studi terjun langsung ke lapangan menggunakan pendekatan Desain Berbasis Masyarakat (DBM) atau pendekatan yang bertumpu pada gagasan bahwa masyarakat merupakan bagian terpenting yang harus terlibat secara langsung dalam merancang proses perubahan untuk dirinya sendiri.
Pendekatan DBM dimulai dari kegiatan imersi, ketika para fasilitator tinggal bersama dengan keluarga selama beberapa hari untuk melihat perilaku-perilaku kunci yang berkontribusi terhadap stunting dan diakhiri dengan tahap uji coba. Hal ini mencakup solusi yang sudah dirancang bersama masyarakat diimplementasi dan diuji keberhasilannya.
Tanoto Foundation mendapati delapan fakta perilaku-perilaku umum yang dapat berkontribusi terhadap stunting dari berbagai daerah di Indonesia.
Fransisca menjelaskan, Tanoto Foundation menemukan fakta bahwa masih banyak ibu yang menganggap air susu ibu (ASI) sebagai hal sekunder ketika anak sudah mau makan sebelum anak usia enam bulan. ASI juga dianggap tidak bergizi.
“Ibu-ibu juga kadang lebih bangga kalau anaknya bisa makan lebih awal. Dan (ibu-ibu) menganggap itu sebagai perkembangan positif. Padahal belum selesai enam bulan ASI eksklusifnya,” kata Fransisca.
Lebih lanjut, Fransisca mengatakan para ibu enggan memilih makanan pendamping ASI (MPASI) yang mengandung protein hewani seperti ikan dan telur. Padahal makan tersebut cenderung terjangkau di dapatkan di beberapa wilayah Indonesia.
Makanan yang mengandung protein hewani seperti ikan dan telur cenderung terjangkau di beberapa wilayah Indonesia tetapi ibu enggan memilihnya sebagai makan pendamping ASI (MPASI).
“Terkadang, mata harian masyarakat di sana (lokasi studi) misalnya adalah nelayan, tetapi sayangnya ikan bukan makanan sehari-sehari mereka. Malah, ikannya dijual. Atau misalnya mereka punya ayam, tetapi telurnya tidak dikonsumsi sehari-hari,” papar Fransisca.
Ia menyampaikan, beberapa orangtua juga ragu memberikan ikan untuk anak mereka karena takut duri pada ikan membahayakan anak.
Hasil studi mendapati ibu-ibu di Indonesia masih kesulitan menghitung berapa porsi makan ideal yang harus dikonsumsi bayi dan anak setiap hari.
Ibu-ibu di Indonesia masih kesulitan menghitung berapa porsi makan ideal yang harus dikonsumsi bayi dan anak setiap hari. Bahkan, pemberian makan hanya dilakukan ketika anak meminta, sehingga cenderung tidak teratur.
Selain itu, kata dia, ibu-ibu muda merasa lebih aman jika memberikan makanan kemasan khusus bayi yang takarannya dinilai sudah jelas dan pas.
“Dan juga menurut mereka (ibu muda) sudah jelas takarannya (makanan kemasan khusus bayi). Jadi, daripada ribet, dikasih saja makanan kemasan,” jelas Fransisca.
Fransisca pun mengatakan, pihaknya mendapati bayi yang masih berusia enam bulan dan bayi di bawah usia lima tahun (balita) kerap diberi kudapan atau snack berupa biskuit, crackers, atau kue, agar tidak rewel.
“(Orangtua) lihat anak-anak lain dikasih snack, ya sudah saya kasih juga deh anak saya, atau kadang-kadang ibu juga merasa dahulu nggak bisa jajan, nah nggak mau anak saya kayak begitu juga, jadi ya sudah deh supaya anak lebih happy, dikasih snack,” kata Fransisca.
Hal tersebut, lanjut dia, membuat anak-anak cenderung tidak makan makanan bergizi yang seharusnya mereka konsumsi lantaran sudah kenyang dengan kudapan atau snack yang diberikan orangtua.
Baca juga: Akademisi UGM: Pencegahan Stunting Bisa Dilakukan sejak Sebelum Nikah
Melalui studi ini, ditemukan pula bahwa pemberian makan untuk anak sering terburu-buru dan tidak menyenangkan bagi anak.
“Misalnya ketika anaknya sedang main, ibunya memaksa menyuapi anak. Ini membuat proses makan anak menjadi tidak menyenangkan,” jelas Fransisca.
Selain itu, masih banyak orangtua yang tidak berusaha lebih keras mencari cara agar anak mau makan, ketika anak menolak untuk makan.
Pada kesempatan tersebut, Fransisca mengatakan, ada sebuah norma yang dianut masyarakat bahwa ibu lebih merawat anak sedangkan ayah kurang berinteraksi dengan anak.
Selain itu, juga tidak ada suatu mekanisme khusus agar anak anak mendapatkan stimulasi sejak dini (early stimulation) yang membantu pengembangan otaknya dengan baik.
“Otak manusia itu berkembang pesat ketika kita berusia nol sampai tiga tahun. Tapi sayangnya tidak ada suatu mekanisme khusus yang diberikan kepada orangtua tentang bagaimana melakukan early stimulation kepada anak sehingga anak punya brain development yang baik,” tutur Fransisca.
Masalah stunting lainnya di Indonesia adalah banyak mitos yang beredar di masyarakat.
Fransisca mengatakan, penyebab keguguran masih banyak dikaitkan dengan makanan tabu seperti nanas, durian, gurita, atau makanan lain, tergantung dengan mitos daerah masing-masing.
Untuk itu, ia berharap petugas kesehatan bisa memberikan informasi yang akurat tentang gizi kepada ibu hamil.
“Bidan, dukun beranak, dan petugas kesehatan, itu adalah personel yang dianggap sebagai orang paling dipercaya untuk memberikan informasi terkait kesehatan gizi dan keluarga,” kata Fransisca.
Baca juga: Pakar Unair Jelaskan Kaitan Kesehatan Gigi dan Stunting pada Anak
Istilah stunting belum cukup umum di masyarakat. Bahkan, masyarakat di kota besar pun banyak yang masih tidak paham apa itu stunting.
“Terkadang, sudah ada poster (tentang stunting) yang menimbulkan efek positif sehingga masyarakat tahu tentang apa itu stunting, tetapi terkadang menimbulkan juga efek negatif dan stigma di masyarakat. Jadinya kalau anaknya pendek, itu dikiranya stunting, padahal belum tentu,” ujar Fransisca.
Selain itu, kata dia, poster tentang makanan sehat di masyarakat juga kerap menimbulkan stigma bahwa makanan sehat itu mahal dan sulit didapat.
“Poster yang ada di masyarakat menampilkan bahan makanan yang tidak tersedia di lokasi (tempat tinggal), sehingga masyarakat menganggap makanan sehat itu susah ditemukan atau mahal,” papar Fransisca.
Dalam kesempatan itu, Fransisca menyampaikan, pihaknya meyakini bahwa keterlibatan aktif masyarakat untuk mencari solusi masalah stunting dapat menghasilkan pola perilaku berkelanjutan yang mampu menekan kasus stunting di Indonesia.
Untuk itu, para fasilitator yang melaksanakan studi mengajak masyarakat untuk terlibat secara langsung dengan menuangkan ide solusi masalah stunting yang ditemukan.
Baca juga: Dosen Unair: ASI Mampu Cegah Bayi Stunting
Berikut beberapa ide solusi masalah stunting dari masyarakat dan untuk masyarakat yang diuji coba di daerah pelaksanaan penelitian:
Masyarakat di Kalimantan Selatan bersama fasilitator mencoba membuat buku resep dari para ibu.
Dalam hal ini, para ibu diminta untuk menuliskan resep makanan yang nantinya digabung menjadi sebuah buku kumpulan resep.
“Di dalam buku itu juga ada bagian diary. Fungsinya supaya ibu-ibu bisa menuliskan bagaimana pengalaman mereka ketika mencoba resep tersebut dan bagaimana ketika makanan tersebut diberikan kepada anaknya, apakah anaknya suka atau tidak suka,” jelas Fransisca.
Prototipe buku resep ini, kata dia, berhasil membuat ibu-ibu mengubah praktik pemberian MPASI. Mereka memasak sayuran setidaknya lima kali seminggu.
Anak-anak di lokasi penelitian juga menyukai variasi menu makanan buatan ibunya yang mengandung sayuran.
Di Sulawesi Barat, masyarakat, fasilitator, kader, bidan, dan komunitas, mendesain ulang pos pelayanan terpadu (posyandu) yang ramah bagi ibu dan lebih menyenangkan untuk dikunjungi.
Desain ulang tersebut dilakukan dengan memberikan tempat khusus di posyandu agar ibu dapat melakukan konseling gizi.
Meskipun begitu, kata dia, prototipe peningkatan kunjungan ke posyandu yang dibuat ini tidak selalu mulus.
“Kadang-kadang, kader menjalankan sesi konseling secara tidak terstruktur, (hanya) sesuai keinginan atau sesuai yang ditanyakan (masyarakat) kepada mereka,” tutur Fransisca.
Baca juga: Bantu Turunkan Angka Stunting, Tanoto Foundation Hibahkan Rp 2,8 Miliar kepada Unicef Indonesia
Sementara itu, kata Fransisca, di wilayah NTT, para ibu membentuk klub memasak atau cooking club. Hal ini dilakukan untuk menghidupkan kembali makanan sehat dan makanan keluarga seperti pada zaman dahulu.
“Jadi para ibu dikumpulkan, lalu dibagi menjadi beberapa grup cooking club, lalu mereka diminta masak bersama selama dua jam untuk mencoba makanan baru,” papar Fransisca.
Ia mengatakan, ada cooking club yang tidak berjalan dan ada pula yang berjalan terus-menerus.
Namun, melalui kegiatan ini, ibu-ibu menjadi sadar bahwa selama ini mereka membiarkan anak-anaknya mengonsumsi terlalu banyak makanan ringan. Mereka pun merasa bersalah karenanya.
Fransisca mengatakan, di Sumatera Barat, para ibu-ibu membuat camilan sehat untuk dijual di warung. Hal ini dilakukan agar anak-anak bisa mengganti junk food berupa camilan kemasan dengan camilan sehat buatan ibu-ibu.
Aneka camilan yang dijual ibu-ibu antara lain sate buah, jeli buah, dan es loli buah.
Fransisca menyampaikan, uji coba solusi pencegahan stunting yang dilakukan ibu-ibu ini mendapatkan hasil beragam, ada yang positif ada juga yang negatif.
“Hasil negatifnya adalah karena anak sudah terbiasa pergi ke warung untuk membeli makanan kemasan, jadi mereka lebih suka itu (daripada camilan sehat). Kami tidak bisa menghentikan warung untuk berhenti menjual makanan kemasan,” kata Fransisca.
Adapun hasil positif dari prototipe tersebut, kata dia, adalah posyandu di Sumatera Barat mengganti pemberian makanan tambahan (PMT) dari yang semula hanya bubur kacang hijau, kini menjadi buah-buahan.
Baca juga: 2 Intervensi Gizi Bantu Percepatan Penurunan Stunting dengan Target 14 Persen 2024
Fransisca berharap, studi desain berbasis masyarakat yang dilakukan Tanoto Foundation dapat dijadikan pembelajaran untuk memperkaya strategi pemerintah dalam menekan angka stunting di Indonesia.
Ia juga berharap, studi tersebut mampu memberikan referensi tentang bagaimana cara menyediakan makanan berkualitas untuk bayi dan anak usia enam sampai 24 bulan, serta meningkatkan kapasitas kader dalam memberikan konseling terkait gizi.