KOMPAS.com - Orangtua terkadang mengatur dan menentukan berbagai keputusan hidup anak, termasuk dalam memilih program studi (prodi) di perguruan tinggi bahkan hingga menentukan karier.
Penentuan keputusan itu bisa dipengaruhi berbagai hal, seperti faktor keuangan, ekspektasi sosial, hingga keinginan anak yang tidak sesuai dengan aspirasi orangtua.
Untuk yang terakhir disebut, pengajar Psikologi Klinis di James Cook University (JCU), Singapore, Dr. Natasha Riard, memberikan catatan terkait keterlibatan orangtua dalam mengambil keputusan pada pilihan anak, khususnya saat memilih prodi.
Dia mengatakan, peran orangtua dalam memilih prodi sebaiknya sebagai fasilitator ketimbang meminta anak melakukan apa yang harus dikerjakan.
“Pemilihan prodi terjadi saat usia remaja. Ketika orangtua terlalu mengendalikan pilihan bagi anak, ini akan berpengaruh terhadap pengenalan identitas diri anak,” katanya kepada Kompas.com, Kamis (11/1/2024).
Baca juga: Lulus dari JCU Singapore, Alumni Asal Bali Ini Temukan Segudang Manfaat Psikologi
Ia mengatakan, terdapat tantangan unik dalam budaya keterikatan emosional antara anak dan orangtua, khususnya di Asia. Salah satunya adalah budaya yang memposisikan anak untuk selalu mengikuti petunjuk orangtua dan memenuhi ekspektasi orangtua.
“Ketika orangtua merasa tahu apa yang terbaik untuk anaknya, ini akan membuat orangtua susah dalam menoleransi keputusan berbeda sehingga kedua pihak akan mengalami stres,” ujarnya.
Dari beberapa kasus yang pernah dia tangani, anak-anak terkadang menyesal ketika mengikuti pilihan orangtua. Sebab, setelah memasuki dunia kerja, mereka merasa menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak disuka.
Mereka berharap bisa melakukan apa yang diinginkan, sekaligus menjaga hubungan baik dengan orangtua.
Dr. Natasha menambahkan, pola asuh yang ketat, khususnya terkait keberhasilan dan kegagalan anak, berdampak negatif dalam pengembangan diri anak, khususnya dalam mengambil keputusan.
“Anak bisa kesulitan membuat keputusan sendiri karena dia tidak percaya diri dalam mengambil keputusan dan selalu bergantung kepada orang lain,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Natasha mengatakan, dalam ilmu psikologi terdapat attachment theory atau teori tentang keterikatan emosional antarmanusia, termasuk orangtua dengan anak.
Hubungan keterterikatan emosional dalam keluarga terbentuk ketika orangtua menyediakan berbagai hal kepada anak hingga menjadi dewasa dan percaya diri untuk mengambil keputusan sendiri.
Dalam membangun hubungan itu, dia mengatakan, orangtua perlu mengedepankan mental well being anak melalui empat hal, yakni menerima anak apa adanya, memberikan mereka otonomi, memiliki harapan yang realistis, dan memiliki batasan yang rasional.
Terkait pemilihan prodi pada perguruan tinggi, dia mengatakan, orangtua dapat bersikap lebih terbuka dalam mendengarkan preferensi anak-anak.
“Jika orangtua tidak setuju pun, tetap dengarkan dan bersikap terbuka. Berikan kesempatan kenapa mereka memilih prodi dan apa arti prodi itu baginya untuk mencapai karier impiannya,” terangnya.
Psychology Clinic Manager di JCU, Singapore itu juga menekankan sikap memiliki harapan realistis kepada anak dan harapan orangtua itu sendiri.
“Orangtua bisa bertanya ‘apakah ini sesuatu yang secara realistis bisa dikerjakan anak saya’ ketimbang meminta anak melakukan apa yang mereka tidak sukai dan tidak capable melakukannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Natasha mengatakan, pelaksanaan empat hal utama untuk memenuhi kesehatan mental anak di atas akan berkembang ke arah yang lebih positif seiring dengan perubahan sosial dan perkembangan teknologi.
Dia mencontohkan, semakin terbukanya akses pendidikan di seluruh dunia dan banyaknya macam-macam prodi baru dapat memengaruhi anak dalam memilih prodi.
Sejalan dengan itu, terbukanya berbagai informasi terkait prodi, seperti website universitas atau forum tertentu, juga dapat membantu orangtua lebih terbuka menerima pilihan anak.
Di sisi lain, anak juga perlu memahami perspektif orangtua, seperti prodi atau pekerjaan tertentu yang dianggap membawa kesejahteraan oleh generasi mereka.
“Sampaikan bahwa mereka memahami perspektif orangtua, lalu jelaskan apa yang generasi sekarang anggap lebih penting,” katanya.
Dr. Natasha menambahkan, orangtua perlu memahami bahwa sebagian anak membutuhkan bimbingan dalam menentukan pilihan dan sebagian lainnya tidak.
Salah satu hal yang bisa membantu memahami kondisi itu adalah mengedepankan gaya komunikasi yang tidak menghakimi.
Mantan Senior Psychologist di KK Women’s and Children Hospital Singapore itu mengatakan, kedua pihak akan memiliki banyak pendapat berbeda sehingga perlu disampaikan dengan cara yang tepat.
“Orangtua dapat menunjukkan bahwa mereka khawatir, tetapi juga menghormati dan memberikan dukungan terhadap pilihan tersebut,” ujarnya.
Dr. Natasha mencontohkan, orangtua dapat mengawasi kegiatan anak, seperti bagaimana progres pembelajarannya, ketimbang mengontrolnya.
Menurutnya, pemantauan itu dapat berguna untuk melihat apakah progres pembelajaran anak sejalan dengan prodi yang dipilih.
Konsultan di KidSTART Singapore Ltd itu menegaskan, kontrol paling jauh yang dapat diberikan orangtua adalah ketika anak ada di usia remaja atau sekolah menengah pertama (SMP).
Dengan demikian, orangtua harus memberikan fondasi yang kuat sejak kecil. Sebab, pengaruh paling kuat setelah mereka remaja hingga dewasa adalah teman sebayanya.
“Dalam hal monitoring dan seiring dengan anak yang bertambah dewasa, orangtua perlu memosisikan diri sebagai sebagai fasilitator,” ungkapnya.
Dalam hal ini, kata dia, orangtua hanya menjadi pendengar dan memberikan dukungan ketika dibutuhkan, terutama untuk anak late teen atau young adults.
“Orangtua dapat berbicara dengan anak tentang masalah mereka dan bagaimana mereka menyelesaikannya, bukan terlibat langsung dengan menelepon sekolah atau kampus," ujarnya.
Pelajari lebih lanjut mengenai program perkuliahan yang ada di James Cook University di www.jcu.edu.sg atau menghubungi James Cook University, Singapore melalui e-mail andrew.lim@jcu.edu.au.