KOMPAS.com - Terlepas dari harga dan kualitas, setiap brand fashion atau merek pakaian memiliki keunikannya tersendiri untuk menarik calon konsumen. Hal ini juga menjadi salah satu keunggulan merek fashion lokal bernama Jackhammer.
Jackhammer merupakan local fashion brand yang pertama kali dibangun oleh alumnus Magister Manajemen (MM) Business Management Universitas Prasetiya Mulya (Prasmul), Ardika Syahputra dengan ketiga sahabat karibnya pada 2012.
Ketika komunitas pecinta denim yang aktif membuka bisnis pakaian yang hype pada masanya seperti celana jeans, Jackhammer semula hadir dengan produk komplementernya, berupa kemeja dan pakaian.
Pada 2017, Jackhammer di bawah pimpinan Ardika akhirnya re-group atau menyusun kembali strategis marketing untuk memasuki pasar retail.
Baca juga: Berkat Passion Kuat di Bidang Marketing, Alumnus Prasmul Ini Jadi Incaran Banyak Startup
Ardika Syahputra mengatakan, tiga per empat dari penggagas awal Jackhammer merupakan anak teknik yang masih hangat dengan dunia engineering atau mesin.
“Jadi kami cari sesuatu yang relate dengan kami seperti desain Bonsai yang menggambarkan kerja keras, dedikasi, dan banyak hal lain yang secara nggak langsung berhubungan sama engineering,” kata lulusan S1 Teknik Kimia tersebut, dikutip dari Ceritaprasmul.com, Senin (24/1/2022).
Akhirnya, lanjut Ardika, Jackhammer menemukan keunggulan dari interest atau minat dan produk khusus, ditambah keunggulan harga yang terjangkau.
Selain itu, ekstensi produk Jackhammer juga diikuti dengan desain yang filosofis. Salah satunya adalah edisi Whopper Stopper yang bercerita tentang aktivitas memancing, koleksi self-determination yang menggambarkan profesi fotografi, pelukis, dan bidang kreatif lainnya.
Baca juga: Ada Salad pada Desain Baju, demi Ajakan Gaya Hidup Sehat
“Makanya kami punya slogan ”Pride & Hardwork, Genuine Garment – Forever Enduring”. Inti dari keywords itu asosiatif dengan segala sesuatu butuh kerja keras, desikasi, konsistensi, dan persistensi,” ucap Ardika.
Tren gaya berpakaian selalu mengalami perubahan setiap waktu. Jika cool kids atau anak-anak keren jaman dulu dahulu identik dengan denim dan sepatu boots, sekarang muncul sneakers dan bomber jacket sebagai tren terkini.
Perubahan tren fashion tersebut juga berpengaruh dengan persepsi yang ditampilkan dari detail brand, seperti nama dan logo.
Dengan pertimbangan brand awareness atau kemampuan konsumen dan calon konsumen dalam mengenali suatu merek, produk yang masih belum masif, Ardika berani melakukan rebranding saat memasuki tahun ke-10 Jackhammer.
Baca juga: Dikenal Selama 20 Tahun, Kini Sophie Paris Rebranding Jadi Sistersel
Untuk diketahui, rebranding merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar menjadi lebih baik. Namun, tetap memegang tujuan awal perusahaan, yaitu berorientasi profit.
“Ini tercetus dari Prasetiya Mulya yang membiasakan untuk membaca data. Saya jadi tahu kalau 90 persen penjualan pakaian di Indonesia berasal dari toko fisik,” ucap Ardika.
Keputusan rebranding, lanjut dia, merupakan upaya awal merek fashion-nya untuk masuk ke mal dan meningkatkan feasibility atau kelayakan.
Ia menjelaskan, dari dahulu Jackhammer sangat terasosiasi dengan alat engineering yang menggambarkan maskulinitas.
Baca juga: 4 Kampus Terbaik Indonesia Bidang Engineering-Technology QS WUR 2021
“Tetapi kami lihat sekarang, wah kayaknya nggak bisa seperti dulu karena tren pun bergeser. Butuh image yang lebih modern dan luwes,” imbuh Ardika.
Perlahan tapi pasti, Jackhammer berpindah secara smooth atau halus sejak 2019. Ini dimulai dari penamaan menjadi Jackersfield dan logogram yang semakin sering ditampilkan, sehingga bisa lebih familier.
“Kami ubah dari sales channel atau saluran penjualan dulu, karena ada algoritma dan cash investment atau investasi tunai sejak kuartal ketiga (Q3) kemarin. Nanti tinggal communication channel atau saluran komunikasi akan menyesuaikan di puncaknya,” jelas Ardika.
Baca juga: Penjualan Hatchback pada 2021, Siapa yang Paling Laris?
Ardika mengaku kekeh memperkuat asosiasi hingga rebranding berasal dari ilmu bisnis praktis yang dirasakan Jackhammer sendiri.
“Pertama, konsisten itu paling pertama dalam banyak hal, dari desain, harga, dan dalam pemilihan strategi produk, kemudian relevan. Tetapi tidak lupa bahwa mungkin addition market atau pasar tambahan itu bisa juga purchase atau pembelian,” ucapnya.
Ardika mencontohkan, pada segmen wanita biasanya akan melakukan pembelian bagi pasangannya, sehingga keputusan rebranding akan menjadi lebih tepat dalam memperbesar basket size.
Ilmu bisnis kedua, lanjut dia, selalu komunikasikan brand dan perubahannya terutama kepada pelanggan setia. Ilmu terakhir adalah jangan takut untuk berkreasi.
Baca juga: Gandeng Aqua, Dompet Dhuafa Sebarkan Ilmu Bisnis
“Jackhammer enggak pernah terasosiasi dengan kota. Oleh karenanya, kami membuat kota imajinasi yang namanya bitter spilled yang akan berkembang menjadi map, novel, dan komik. Dengan begitu konsumen enggak hanya membeli produk, tapi juga cerita,” ucap Ardika.
Lebih lanjut alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut mengatakan, asosiasi bisa membantu konsumen lebih relate atau berhubungan dengan suatu brand.
Ardika berharap, rebrand Jackhammer menjadi Jasckersfield nantinya semakin menggambarkan segala aktivitas bekerja dan hobi sehingga semakin relevan dengan pasar.