KOMPAS.com – Dalam beberapa bulan ini, film KKN di Desa Penari mencuri perhatian masyarakat dengan jumlah penonton lebih dari 9 juta.
Film ini diangkat dari utas cerita horor di Twitter yang viral pada 2019. Cerita ini berkutat pada sekelompok mahasiswa yang menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Penari dan mengalami berbagai pengalaman mistis.
Meski mampu menjaring penonton yang begitu besar, film ini mendapatkan respons beragam dari masyarakat hingga kritikus.
Dosen Program Studi Sastra Inggris Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Emanuella Christine Natalia Mau mengatakan, film layaknya sebuah koin bermata ganda, karena sifatnya yang mendidik sekaligus menjadi alat kapitalisme.
“Film adalah alat untuk mempercepat perputaran uang, seperti yang telah lama disadari Negeri Paman Sam ketika menjadikan film sebagai salah satu pusat industri penarik devisa,” katanya dalam siaran pers, Jumat (1/7/2022).
Baca juga: KKN di Desa Penari Tembus 9 Juta Penonton, Tissa Biani: Bersyukur Banyak Peminatnya
Lambat tetapi pasti, lanjutnya, negara lain menyadari bahwa film adalah mesin pengolah uang nomor wahid. Hal ini terbukti dari maraknya persaingan antara Hollywood, Bollywood, dan drama Korea (drakor).
“Lalu pertanyaan, seharusnya bagaimanakah kapitalis ikut mendidik bangsa? Bung Karno dalam pidatonya secara tersirat kembali menyinggung peran kapitalis sebagai bagian dari masyarakat,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dengan semua kecanggihan teknologi dan pengetahuan yang ada, semestinya kapitalis mampu menyumbang pendidikan kepada masyarakat.
Menurutnya, hal tersebut juga erat kaitannya dengan kemampuan literasi media masyarakat Indonesia.
Sebab, masyarakat Indonesia diharapkan memiliki art sense yang tinggi sehingga dapat menyaring tontonan yang berbobot dengan mengesampingkan fakta apakah filmnya viral atau tidak.
Baca juga: Manoj Punjabi Rencanakan Ekspansi Film KKN di Desa Penari ke Negara-negara Asia Tenggara
Emanuella juga menilai, masyarakat seperti yang diharapkan tersebut tidak akan terjadi apabila kapitalis sebagai insan film tidak tergugah menyelipkan sepotong pengetahuan dalam film-film garapannya.
“Dengan alasan yang sama, KKN di Desa Penari seharusnya ikonik dengan kebudayaan Hindu Blambangan yang unik serta representasi dari kejawen dalam seni tarinya namun menjadi kurang greget walaupun viral,” katanya.
Dia menyebutkan, tanggung jawab insan film seharusnya berlipat ganda ketika filmnya viral. Sebab, film yang viral memiliki tuntutan untuk memberikan pengetahuan kepada audiens sebagai wujud budaya dan apresiasi terhadap nilai uang yang ditukar.
Apabila hal tersebut tidak terjadi, kata Emanuella, maka masyarakat Indonesia tidak akan mampu berlanjut dari masyarakat yang mengetahui karya seni menjadi masyarakat yang bercita rasa seni.
Emanuella menambahkan, film juga mengandung fungsi otokritik ketika pengetahuan tentang seni yang beredar berlawanan dengan maksud dari penulis naskah, pembuat film, maupun masyarakat pada umumnya.
Baca juga: Kritik Tompi terhadap Film Indonesia: Penulis Naskah Harus Lakukan Riset
Dia menjelaskan, sebuah film bergenre tragedi akan membuat audiens terbelah menjadi beberapa bagian dan memihak karakter-karakter di dalam film tersebut. Sebab, karakter-karakter ini merupakan representasi dari sifat-sifat manusia.
“Manusia seringkali melakukan kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Maka kesalahan yang dibuat tersebut ikut menentukan takdirnya sehingga dapat dengan mudah dipahami bahwa human error adalah bagian dari takdir,” katanya.
Emanuella mencontohkan, karakter seperti Romeo and Juliet serta Anthony and Cleopatra besutan Shakespeare menjadi drama tragedi yang sangat mudah diterima masyarakat karena mengangkat unsur human error yang mudah dipahami.
Akan tetapi, penerjemahan budaya ke dalam konsep film membutuhkan penelaahan yang cukup panjang. Sebab, karya seni diterjemahkan sesuai dengan audiens yang menerimanya.
Oleh karenanya, karya seni tidak dapat diterjemahkan sepihak maupun didiktekan terhadap penerimanya.
Baca juga: Kritik untuk Film Diharapkan Tak Mematikan Kreativitas Para Sineas
“Pengalaman dalam menerima karya seni juga akan membantu audiens menentukan rasa dan apresiasi terhadap karya seni yang diterima,” terangnya.
Terkait unsur budaya dan pengetahuan yang terinsersi dalam karya seni, dia menilai karya seni seyogyanya mengandung unsur pengetahuan di dalamnya.
Dengan adanya karya-karya seni yang mengandung unsur pengalaman pribadi, Emanuella menilai, pekerja seni sudah seharusnya bisa memperkaya pengalaman dan pengetahuan masyarakat.
“Karya-karya seni yang mengandung collective memoir haruslah ditekankan dan bergaung menjadi lebih kuat karena mengandung unsur pengalaman pribadi. Unsur pengalaman pribadi yang jelas akan menegaskan unsur pengetahuan baru terhadap audiens,” sebutnya.
Lebih lanjut, Emanuella mengatakan, setiap tarian memiliki makna dan fungsi masing-masing. Tak jarang, makna magis sebuah tarian sanggup menguras berbagai macam emosi dan membawa seseorang dalam keadaan trance.
Dia menyebutkan, kondisi trance diperuntukkan agar jiwa dapat melakukan kontak dengan entitas tak kasat mata dan dipercaya dapat menuntun manusia ke arah yang lebih baik.
“Tarian berfungsi cukup fundamental dalam menghadirkan simbol-simbol kepercayaan agama tertentu yang sejalan dengan makna magisnya, hal yang juga vital ketika dipentaskan,” ujarnya.
Emanuella mengatakan, kemampuan seorang penari juga diharapkan dapat mengejawantahkan perwujudan simbol-simbol kepercayaan tersebut ke ranah kasat mata.
Hal tersebut seringkali juga disangkutpautkan dan dipercaya dapat menarik hadirnya entitas tak kasat mata.
Selain itu, tarian juga memiliki sisi menarik ketika ada tuntutan kemurnian yang harus ditampilkan pada saat menari.
Baca juga: Mengapa Film KKN Desa Penari Banyak Ditonton? 3 Faktor Ini Alasannya
Dia mencontohkan, beberapa tarian di Keraton Yogyakarta ciptaan Sultan Agung menuntut untuk dipentaskan gadis-gadis akil balik yang masih perawan murni.
Tuntutan itu seperti menyertakan beberapa syarat dan tes yang harus dipenuhi gadis-gadis sebelum menampilkan tariannya.
Menurutnya, masalah keperawanan menjadi masalah krusial yang kemudian mewarnai arti dari kemagisan sebuah tarian.
“Hal yang sama juga disyaratkan bagi tarian-tarian yang mengandung unsur-unsur pemujaan dewa dan dewi dalam tradisi kejawen,” katanya.
Lebih dari itu, kata Emanuella, rasa magis yang terkandung bisa menyebabkan audiens terhipnotis dan beralih dari dunia kasat mata ke dunia tak kasat mata.
“Tetapi, bukankah memang sebuah tarian dimaksudkan untuk menjadi demikian? Unik sekali apabila menilik kembali bagaimana sebuah tarian menjadi unsur sakral perwujudan baik dan buruk ketika berbicara soal upacara dan ritual di Indonesia,” sebutnya.
Baca juga: Serunya Menjajal Wahana Misteri KKN di Desa Penari di fX Sudirman
Hal yang sama juga menjadi titik tolak dari bagaimana tarian itu merupakan perwujudan unsur buddayah (jamak: buddhi).
Emanuella menjelaskan, budaya dimaksudkan menjadi perwujudan dari akal budi, pengejawantahan dari seluruh cipta dan rasa manusia.
Budaya tersebar di berbagai unsur kehidupan manusia, beberapa diantaranya adalah bahasa, pengetahuan, dan teknologi.
Dia menilai, film yang merupakan satu dari wujud perkawinan antara bahasa, pengetahuan, dan teknologi berfungsi sebagai mirror image bagi sebuah kebudayaan.
Pertunjukan drama sejak era Shakespearean menjadi ajang perhelatan pengetahuan dan kritik tentang masyarakat. Dengan demikian, unsur budaya seyogyanya tidak lepas dari pengetahuan.
Menurutnya, kemajuan teknologi dalam 100 tahun terakhir telah mampu membawa audiens tidak hanya merasakan dunia tak kasat mata, tetapi juga mampu menghadirkan dunia tersebut dalam panggung dengan kecanggihan teknologi computer graphic images (CGI).
Baca juga: Film-film yang Diadaptasi dari Thread di Medsos, KKN di Desa Penari Salah Satunya
Merujuk kepada KKN di Desa Penari, Emanuella menilai, penulisan naskah yang mengandung memoir sekiranya dikerjakan melalui tahap musing.
Dalam hal ini, sang penulis naskah atau pemilik kisah menuliskan ulang pengalamannya guna memberikan pemaknaan baru terhadap pengertian akan pengalaman tersebut.
“Ini perlu dilakukan untuk memberikan garis film statement yang jelas terhadap masyarakat luas atau audiens, sehingga mereka mendapatkan pengalaman, pesan, dan pengetahuan baru setelah menonton film tersebut,” katanya.
Dalam proses tersebut, bias pun menjadi tak terelakkan, tetapi dapat membantu menciptakan unsur kegawatan dalam penulisan naskah.
“Konflik-konflik runcing itulah yang membuat sebuah film menjadi berbobot, entah itu konflik dalam diri sendiri maupun konflik dari luar,” jelasnya.
Program Studi Sastra Inggris Ukrida menyikapi hal tersebut dengan mengajarkan penulisan kreatif karya sastra nonfiksi atas collective memoir.
Baca juga: KKN di Desa Penari: Membaca Persoalan Gender Melalui Budaya Populer
Pengajaran dilakukan menggunakan tahapan-tahapan yang sesuai tanpa mengesampingkan unsur bisnis dalam sebuah naskah film sehingga naskah yang dihasilkan dapat terasa lengkap dan menarik sekaligus mendidik.