KOMPAS.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Kemendikbud Ristek) menunjukkan komitmennya dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif.
Hal tersebut dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Permendikbud Ristek) Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Terdapat satu poin krusial dalam regulasi yang diterbitkan pada Agustus 2023 tersebut, yakni pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap satuan pendidikan. Per Kamis (10/10/2024), sebanyak 404.956 satuan pendidikan atau 93,71 persen dari total satuan pendidikan telah membentuk TPPK.
Pemerintah daerah juga berperan aktif membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKSP. Saat ini, sudah terbentuk 27 satgas provinsi (71,05 persen) dan 441 satgas kabupaten/kota (85,79 persen).
Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek Suharti mengatakan, pembentukan TPPK dan Satgas PPKSP menjadi langkah awal yang baik dalam upaya pencegahan serta penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.
“Setelah ini, perjuangan dalam mencegah dan menangani kekerasan menjadi tugas berkelanjutan yang akan bersama-sama kita tempuh," ujarnya menurut rilis yang diterima Kompas.com, Minggu (13/10/2023).
Baca juga: Cara Pembentukan TPPK di Sekolah Sesuai Permendikbud Ristek 46
Ia melanjutkan, pembentukan Satgas PPKSP oleh Pemda dan Tim PPKSP oleh satuan pendidikan memastikan adanya respons cepat dalam penanganan insiden kekerasan yang mungkin terjadi.
Langkah tersebut mendorong peran efektif seluruh ekosistem pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan dalam lingkungan belajar.
Kepala Sekolah SMPN 1 Bintan, Kepulauan Riau, Sri Lestari berbagi dampak baik yang dirasakan usai pembentukan tutor sebaya melalui kampanye dan aksi nyata PPKSP di sekolah yang dipimpinnya.
“Dampaknya besar, yaitu keterbukaan dan keberanian untuk menyampaikan informasi berkaitan kekerasan. Prinsip tutor sebaya dalam menginformasikan suatu pembelajaran mampu memberikan kenyamanan dan pemahaman yang cepat kepada siswa,” ungkapnya.
Namun, Suharti mengatakan, pembentukan TPPK dan Satgas PPKSP saja tidak cukup. Penguatan kapasitas semua pihak yang terlibat dalam pencegahan kekerasan menjadi kunci penting dalam menciptakan satuan pendidikan yang bebas kekerasan.
Oleh karena itu, melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM), para pendidik berbagai modul terkait pencegahan kekerasan, termasuk di dalamnya pencegahan perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi telah disediakan dan diakses oleh sekitar 1 juta guru untuk pembelajaran mandiri.
Sejak tahun 2023, Kemendikbud Ristek juga telah melibatkan fasilitator nasional dan fasilitator daerah dari berbagai latar belakang untuk melakukan pelatihan menggunakan modul pencegahan dan penanganan kekerasan.
Pelatihan diselenggarakan bersama dengan Dinas Pendidikan dan berbagai organisasi atau komunitas yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Selanjutnya, pada tahun 2024 Kemendikbud Ristek juga telah melaksanakan peningkatan kapasitas modul penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan untuk Satuan Tugas dan perwakilan TPPK dari seluruh wilayah di Indonesia dengan melibatkan UPT Kemendikbud Ristek,
Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), serta jaringan masyarakat sipil di bidang perlindungan anak dan kebinekaan sebagai fasilitator.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Rante Hattani, menyampaikan bahwa kebijakan PPKSP tidak hanya sekedar membentuk TPPK ataupun satgas, tetapi hingga terlihatnya perubahan paradigma yang nyata di lingkungan pemerintah daerah (pemda) atau sekolah.
Ia menyampaikan, sebelum adanya kebijakan PPKSP, iklim Keamanan Sekolah di Rapor Pendidikan daerah kami memang dalam kategori waspada.
“Namun, semangat kami terbayar dengan terlaksananya kebijakan PPKSP dan dukungan tata kelola yang baik, dengan terlihatnya perubahan paradigma yang nyata di lingkungan Pemda atau sekolah. Juga telah berubahnya Rapor pendidikan daerah kami menjadi warna hijau” ujar Rante.
Kemendikbud Ristek telah menjalin kerja sama implementasi Permendikbudristek PPKSP bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Sosial (Kemensos), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta Komisi Nasional Disabilitas (Komnas Disabilitas).
Dengan demikian, program pencegahan dan penanganan kekerasan dapat dilaksanakan secara komprehensif untuk menciptakan suasana belajar yang inklusif, berkebinekaan, dan aman, demi mendukung pembelajaran yang optimal.
Berkolaborasi dengan UNICEF, Kemendikbduristek menyelenggarakan program anti perundungan “Roots” yang dilaksanakan sejak 2021. Program yang menyasar guru dan siswa SMP, SMA, dan SMK ini memberikan keterampilan mengidentifikasi, mencegah, dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan. Hingga 2024, program ini telah menjangkau lebih dari 33.777 satuan pendidikan di 509 kabupaten/kota di 38 provinsi.
Survei situasi perundungan yang berlangsung melalui media U-Report dari UNICEF pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 42 persen peserta didik menyatakan program Roots memberikan perubahan positif bagi lingkungan sekolahnya. Selain itu, 32 persen peserta didik merasa bahwa perundungan telah berkurang setelah adanya intervensi program Roots.
Baca juga: Definisi dan Tindak Kekerasan yang Diatur Permendikbud PPKSP
Masayu Mutia Maharani Mufti, salah satu siswa yang menjadi Agen Perubahan Roots dari Banten, menceritakan pengalamannya melihat dampak penerapan program ini di sekolahnya,
“Setelah mengikuti program Roots, saya sadar untuk menangani dan mencegah kekerasan di dalam sekolah harus dilakukan bersama dengan teman-teman yang lain. Dengan saling membantu, hasil yang didapatkan akan lebih efektif. Saya juga sadar bahwa murid yang melanggar peraturan sekolah atau menjadi pelaku bullying juga layak diberi arahan untuk menjadi lebih baik lagi,” ujarnya.
Menyadari pentingnya pendidikan yang aman, Kemendikbudristek juga menyediakan jalur pengaduan yang mudah diakses melalui kemdikbud.lapor.go.id.
Kanal ini memungkinkan siswa, orang tua, dan masyarakat untuk melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi di sekolah. Kemendikbudristek juga telah menyediakan Portal PPKSP untuk menyediakan berbagai konten edukasi, termasuk video dan poster pencegahan kekerasan, yang dapat digunakan dalam pembelajaran di kelas.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Kapuspeka), Rusprita Putri Utami, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam implementasi Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Ia menyampaikan bahwa program ini tidak dapat berjalan optimal tanpa dukungan seluruh pihak terkait.
"Dalam upaya ini, kami tentunya tidak bisa bergerak sendiri. Kami selalu berpegang pada filosofi Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya Tri Pusat Pendidikan dalam membentuk karakter anak-anak kita," jelas Rusprita.
Rusprita menambahkan, sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah tiga elemen penting yang harus berjalan beriringan.
“Oleh karena itu, kita semua di sini, baik sebagai pendidik, orang tua, maupun anggota masyarakat harus menjalankan peran masing-masing dalam mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, jika kita mau memastikan anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang aman dan berkualitas,"
Melalui berbagai inisiatif ini, Kemendikbudristek berkomitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung perkembangan siswa secara optimal. Dengan kolaborasi semua pihak, diharapkan kasus kekerasan di satuan pendidikan dapat diminimalkan, dan setiap siswa dapat belajar dalam suasana yang nyaman dan aman.
Untuk informasi dan konten edukasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, Anda dapat mengunjungi merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id.