KOMPAS.com - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda Indonesia di kuartal I-2025 menjadi sinyal krusial bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi vokasi.
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, lebih dari 24.000 pekerja kehilangan pekerjaan dalam periode Januari hingga April 2025, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan teknologi.
Fenomena itu menegaskan adanya ketimpangan antara keterampilan lulusan pendidikan vokasi dengan kebutuhan nyata dunia industri yang terus terdigitalisasi dan terdampak otomatisasi.
“Menjawab fenomena PHK dan memperkuat daya saing lulusan, politeknik harus mengubah dirinya menjadi organisasi adaptif dan reflektif terhadap dinamika industri,” ucap Direktur Multimedia Nusantara Polytechnic (MNP), Roy Anthonius Susanto melalui siaran persnya, Rabu (14/5/2025).
Ia mengungkapkan, politeknik sebagai pilar utama pendidikan tinggi vokasi kini menghadapi tantangan yang jauh lebih mendalam ketimbang sekadar mengejar ketertinggalan.
Baca juga: Indonesia Jangan Muram, Kejar Ketertinggalan lewat Riset Biodiversitas
Dalam konteks perubahan zaman dan disrupsi sosial—ekonomi yang kian cepat, politeknik harus mampu melampaui perannya sebagai institusi pendidikan teknis semata.
“Pengelolaan institusi juga harus ikut berubah, meniru manajemen role model industri yang adaptif, reflektif, dan berbasis inovasi. Di titik ini, disrupsi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan,” imbuh Roy.
Salah satu kelemahan strategis yang masih sering terjadi di institusi vokasi adalah fokus yang terlalu sempit pada aspek akademik.
Roy mencontohkan, seperti kurikulum yang kaku, metode pembelajaran yang masih konvensional, dan keterikatan pada paradigma lama. Semua dilakukan tanpa membangun relasi setara dan berkelanjutan dengan industri sebagai mitra strategis.
Lebih lanjut, Roy mengatakan, salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah pengembangan kurikulum transdisipliner.
“Seperti yang diteliti oleh Tasdemir dan Gazo pada 2020, integrasi antara prinsip keberlanjutan, manajemen modern (lean, six-sigma, life-cycle assessment), dan pembelajaran berbasis proyek terbukti mampu meningkatkan kesiapan kerja mahasiswa secara signifikan,” ucapnya.
Namun transformasi tersebut tidak hanya menyangkut aspek pembelajaran. Perubahan juga harus menyentuh struktur manajerial.
Roy menegaskan, politeknik perlu mulai meniru karakter organisasi industri yang gesit (agile) dan inovatif. Dua pendekatan yang bisa diadopsi adalah dynamic capabilities dan organizational ambidexterity.
Baca juga: Gaya Dedi Mulyadi Diadopsi, Pemkot Palembang Siap Kirim Siswa Tawuran ke Barak Militer
Dynamic capabilities merujuk pada kemampuan organisasi untuk berinovasi dan merekonfigurasi sumber daya internal agar mampu merespons perubahan eksternal secara proaktif.
Sementara itu, organizational ambidexterity menekankan pentingnya kemampuan organisasi menjalankan dua hal sekaligus, eksplorasi (inovasi, eksperimen, penciptaan pengetahuan baru) dan eksploitasi (peningkatan efisiensi dan inovasi inkremental).
“Jika diterapkan dalam pendidikan vokasi, pendekatan ambidexterity memungkinkan politeknik mengembangkan program-program studi baru yang relevan dengan masa depan industri, sekaligus meningkatkan kualitas program studi yang telah ada,” jelas Roy.
Kedua pendekatan tersebut terbukti efektif dalam lingkungan bisnis modern, sehingga sangat mungkin diadaptasi dalam sistem pengelolaan politeknik agar menjadi lebih adaptif, dinamis, dan inovatif.
Roy menjelaskan, kurikulum pendidikan vokasi ke depan tidak lagi cukup jika hanya menitikberatkan pada aspek teknis.
Diperlukan pendekatan yang lebih holistik, yang memasukkan kewirausahaan sebagai kerangka berpikir sekaligus orientasi bertindak.
“ Politeknik harus mulai membangun budaya inovasi dengan menjadikan mahasiswa sebagai pemecah masalah (problem solver) dan pencipta nilai bersama (co-creator) bagi masyarakat dan dunia industri,” ucapnya.
Baca juga: Setuju Larangan Study Tour, Orangtua: Kenalkan Saja Anak Dunia Industri
Pengalaman dari Purdue University menunjukkan bahwa integrasi antara pembelajaran berbasis proyek industri dan pelatihan manajemen modern mampu meningkatkan kesadaran akan keberlanjutan, keterampilan berpikir kritis, serta kesiapan kerja mahasiswa secara signifikan.
Sebuah studi bahkan mencatat bahwa sustainability index mahasiswa meningkat dari angka 6,69 menjadi 9,06 setelah mengikuti kurikulum transdisipliner berbasis proyek nyata.
“Temuan ini memperkuat argumen bahwa integrasi antara teori dan praktik yang relevan dengan tantangan industri mampu menghasilkan lulusan dengan keterampilan yang lebih utuh dan sesuai kebutuhan zaman,” ujar Roy.
Selain penguasaan teknis, kompetensi, seperti manajemen pengetahuan, komunikasi, dan kepemimpinan juga menjadi elemen penting yang harus ditanamkan sejak dini.
Baca juga: 5 Cara Menjaga Kesehatan Ginjal Anak Sejak Dini, Orangtua Harus Tahu
Politeknik tidak cukup hanya menjadi lembaga pengajaran, tetapi harus menjadi ekosistem pembelajaran yang mendorong kolaborasi, kreativitas, dan tanggung jawab sosial.
“Multimedia Nusantara Polytechnic sebagai salah satu politeknik baru di bawah naungan Kompas Gramedia, memahami pentingnya perubahan ini,” imbuh Roy.
MNP, lanjut dia, memandang bahwa sistem pelatihan vokasi harus ditopang oleh transformasi struktur organisasi dan strategi manajemen yang lebih sesuai dengan kebutuhan industri.
Selain itu, perlu juga dilakukan pembaruan kurikulum serta integrasi rantai suplai tenaga kerja ke dalam sistem pendidikan vokasi.
“Untuk mewujudkan visi itu, dibutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya kuat secara manajerial, tetapi juga memiliki jiwa kewirausahaan yang progresif dan visioner,” jelas Roy.
Baca juga: Pacu Kewirausahaan PMI, Bank Mandiri dan KJRI Penang Gelar Program Mandiri Sahabatku
Pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah konkret dalam memperkuat relevansi pendidikan vokasi.
Salah satunya melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kemenaker dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah pada Maret 2025.
Inisiatif ini bertujuan meningkatkan kualitas pelatihan vokasi bagi siswa SMK melalui kolaborasi dengan Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP).
Kini, dunia pendidikan tinggi vokasi menanti kebijakan lanjutan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), khususnya dalam kerangka kebijakan Diktisaintek Berdampak.
Pada kesempatan tersebut, Roy mengungkapkan, dunia usaha dan industri perlu mengubah cara pandang terhadap pendidikan tinggi vokasi.
Selama ini, sebut dia, vokasi kerap dianggap sebagai pilihan sekunder dibandingkan pendidikan akademik.
“Padahal, dalam realitasnya, pendidikan tinggi vokasi sangat relevan dalam menyiapkan tambahan 58 juta tenaga kerja terampil untuk menjawab kebutuhan abad ke-21 pada 2030 mendatang,” imbuh Roy.
Perkembangan teknologi, lanjut dia, termasuk kecerdasan buatan (AI), menimbulkan kekhawatiran akan tergantikannya tenaga manusia oleh mesin.
Namun, menurut Roy, hal ini justru menjadi alasan kuat bagi institusi pendidikan vokasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya pada aspek soft skills yang tidak mudah diotomatisasi.
Baca juga: Pemerintah Akan Perkuat Hard Skill dan Soft Skill sejak Pendidikan Dasar
“Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, politeknik perlu membangun kemitraan strategis yang aktif dengan dunia industri, asosiasi profesi, dan pemerintah daerah,” ucapnya.
Kolaborasi tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk, seperti program magang terstruktur, pembelajaran berbasis proyek nyata, penyusunan kurikulum bersama, hingga pendirian pusat unggulan teknologi di lingkungan kampus.
Forum-forum diskusi dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) juga perlu direalisasikan dari tataran konsep menjadi langkah taktis.
“Tingginya angka PHK yang terjadi belakangan ini seharusnya menjadi peringatan. Namun lebih dari itu, ini adalah momentum strategis bagi institusi pendidikan vokasi untuk melakukan refleksi dan perbaikan,” jelas Roy.
Baca juga: Dokter Umum dan Operasi Caesar: Ruang untuk Refleksi, Bukan Reaksi
Politeknik di Indonesia harus bergerak menuju tata kelola berbasis industri, dengan merancang kurikulum yang benar-benar sesuai kebutuhan dunia kerja.
Lulusan tidak hanya disiapkan untuk mencari pekerjaan, tetapi juga diberdayakan untuk menciptakan lapangan kerja.
“Seperti dikatakan dalam laporan UNDP 2024, masa depan tenaga kerja adalah masa depan yang dirancang, bukan diwarisi. Maka, sudah saatnya pendidikan tinggi vokasi mengambil peran sebagai arsitek masa depan bangsa,” ungkap Roy.