KOMPAS.com - Indonesia diharapkan dapat memasuki fase Indonesia Emas pada 2045 dengan memanfaatkan bonus demografi sebagai kekuatan ekonomi global dan sumber daya manusia ( SDM) yang terampil dan berkompeten.
Pendidikan vokasi di Indonesia, baik di tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK) maupun perguruan tinggi, menjadi kunci utama SDM yang siap kerja.
Ketua Bidang Advokasi Pengurus Pusat Perkumpulan Politeknik Swasta (Pelita) Indonesia Agung Hendarto mengatakan, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan, tingkat pengangguran lulusan SMK 10,77 persen lebih tinggi ketimbang lulusan perguruan tinggi vokasi.
“Di tingkat perguruan tinggi vokasi, angka pengangguran mencapai 8,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pendidikan vokasi dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, kenyataannya, masih banyak lulusan yang sulit mendapatkan pekerjaan,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (3/10/2024).
Baca juga: Bekerja Sama dengan Fasilitator Industri, MNP Gandeng Alcor Prime dan GOVOKASi
Agung mengatakan, salah satu masalah utama adalah ketidakcocokan antara kurikulum pendidikan vokasi dan kebutuhan industri.
Hal tersebut ditunjukkan melalui Survei Ketenagakerjaan 2022. Disebutkan bahwa 60 persen perusahaan mengeluhkan kurangnya keterampilan praktis pada lulusan vokasi.
“Hal ini membuat lulusan vokasi sering kali tidak sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja, sehingga mereka sulit memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka,” tulis Agung.
Selain itu, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa anggaran untuk pendidikan akademik jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan vokasi.
Pada 2023, anggaran untuk pendidikan akademik mencapai Rp 100 triliun, sementara pendidikan vokasi hanya mendapatkan Rp 15 triliun.
Baca juga: MNP Fest 2024, Implementasi Praktik Mahasiswa Multimedia Nusantara Polytechnic
Dengan demikian, infrastruktur dan fasilitas pendidikan vokasi kurang memadai untuk mendukung proses pembelajaran yang efektif.
Lebih lanjut, sinergitas antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan vokasi juga dinilai belum optimal.
Tanpa adanya kerja sama yang erat, lulusan dengan spesifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri akan sulit dihasilkan.
Pemerintah yang baru harus fokus pada reformasi pendidikan vokasi untuk memastikan pendidikan vokasi lebih relevan dan efektif dengan mengambil beberapa langkah.
Pertama, Menteri Pendidikan harus memahami tantangan dan potensi pendidikan vokasi dan prinsip-prinsip pendidikan seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantoro, sehingga mampu mengarahkan kebijakan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Baca juga: UMN dan MNP Siap Kerjasama dengan Pemerintah Timor Leste
Kedua, pemerintah harus mendorong kerja sama antara sektor industri dan lembaga pendidikan vokasi untuk memastikan bahwa kurikulum dan pelatihan yang diberikan sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja.
Ketiga, mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pendidikan vokasi serta meningkatkan kualitas fasilitas dan infrastruktur.
Pengalokasian dana yang lebih besar. Misalnya alokasi Rp 25 triliun, bisa digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan vokasi.
Keempat, mengembangkan dosen dan tenaga pengajar di perguruan tinggi vokasi agar memiliki pengalaman praktis di industri dengan mengadakan program pelatihan dan sertifikasi bagi dosen vokasi yang melibatkan industri.
Melalui langkah-langkah ini, pendidikan vokasi di Indonesia diharapkan dapat mengalami perbaikan signifikan.
Baca juga: MNP Fest 2024: Musik, Kompetisi, dan Keberagaman di Gading Serpong
Pasalnya, keberhasilan reformasi pendidikan vokasi akan memainkan peran kunci dalam mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045.